Oleh:Dr Ari Yusuf Amir
HASIL penyelidikan Komnas HAM terhadap peristiwa terbunuhnya 6 orang laskar Front Pembela Islam (FPI) yang mengawal Habib Rizieq Shihab (HRS) pada 7 Desember 2020 lalu, mulai dibuka ke publik.
Jumat (8/1) lalu, Komnas HAM telah merilis hasil pengumpulan data dan fakta yang telah diuji, dianalisis dan disimpulkan, serta direkomendasikan dalam sebuah laporan temuan hasil penyelidikan terhadap peristiwa penembakan di KM 50 ruas tol Jakarta-Cikampek (Japek).
Satu hal yang setidaknya lebih jelas bahwa dari 6 orang laskar FPI yang tewas, Komnas HAM menyatakan, terdapat 4 orang korban yang didapatkan tewas akibat kekerasan dan penembakan dengan sengaja oleh polisi di luar mekanisme penegakan hukum yang seharusnya (unlawful killing). Bahkan sebelum dibunuh, terungkap temuan pada tanda-tanda fisik yang menunjukkan bahwa keempat korban telah terlebih dahulu mengalami penyiksaan (torture).
Dalam bahasa Komnas HAM, keempat orang FPI ini masih hidup ketika dalam penguasaan resmi petugas negara. Namun kemudian tewas di tangan petugas tanpa ada upaya lain untuk mencegahnya. Oleh karena itulah tindakan petugas yang menyiksa dan mengakibatkan kematian anggota FPI tersebut merupakan bentuk pelanggaran HAM (serious violation of human rights).
Sementara itu, masih menurut versi Komnas HAM, dua orang laskar FPI yang tewas lainnya merupakan akibat penghadangan terhadap petugas negara. Terjadi kontak senjata ketika itu, dan dua anggota FPI itu kemudian gugur.
Kesan yang ingin dibangun dari konstruksi cerita ini, bahwa dua orang yang tewas berkategori 'lawfull killing' karena petugas negara sedang menegakkan hukum.
Hanya saja aktivitas penegakan hukum yang sedang dilakukan polisi pada saat itu adalah menguntit HRS sebagai terduga pelaku pembuat kerumunan di masa pandemi Covid-19. Cara dan prosedur penegakan hukum yang berbuntut pada kekerasan fisik secara berlebihan ini kemudian mengundang kontroversi, karena tidak sebanding dengan dugaan kesalahan para korban.
Harapannya, apabila terbukti terdapat pelanggaran HAM oleh kepolisian terkait dengan tewasnya 4 orang laskar FPI itu, tentu saja kasus ini segera ditindaklanjuti melalui proses pemidanaan terhadap pelaku penembakan dan penyuruh (pemberi perintah) penembakan.
Tentu saja penegakan hukum yang 'fairness' hanya bisa dilakukan jika laporan Komnas HAM ini ditindaklanjuti oleh Presiden Jokowi. Bagaimana pun Komnas HAM adalah 'government body' yang memberikan rekomendasi hasil kerjanya hanya kepada Presiden sebagaimana amanat UU 26/2000 tentang Hak Asasi Manusia.
Sebagai kepala negara, tentu saja presiden sejatinya menindaklanjuti rekomendasi pemidanaan tersebut. Tentu tidak sepatutnya bagi presiden memberikan imunitas (melindungi orang agar terbebas dari hukuman) apabila proses pemeriksaan nantinya menemukan pihak yang menjadi aktor pemberi perintah terjadinya pelanggaran HAM ini.
Jika Presiden tidak sigap, tanggap dan cepat dalam merespons dan menindaklanjuti laporan Komnas HAM ini, bukan tidak mungkin kasus ini akan dipetieskan atau dibekukan. Alhasil tidak akan ada bedanya dengan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Kasus ini bisa serupa dimana aktor yang diusut hanyalah pelaku dan bukan penyuruh (dader).
Apabila proses penegakan hukum terhadap kasus ini lamban karena faktor terhentinya proses tindaklanjut di meja Presiden, wacana untuk menyeret kasus ini ke peradilan pidana internasional (International Criminal Court/ICC) akan memanas. Dan tentu saja hal ini akan menurunkan reputasi negeri ini di mata dunia.
Lebih dari itu, jika mau jujur maka pelaku atau eksekutor penembak bersama dengan penyuruh atau pemberi perintah membunuh, atau orang yang mendesain terjadinya peristiwa ini, untuk segera ditangkap dan ditahan polisi. Merekalah yang harus dikriminalisasi melalui proses pemidanaan yang fair play untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran HAM yang dilakukannya.
Salah satu usulan terpenting untuk memulai proses pemidanaan terkait dengan tindaklanjut laporan Komnas HAM ini adalah institusi kepolisian harus fokus pada upaya menyelamatkan citra dan kepercayaan masyarakat. Caranya, konsentrasi saja pada pengungkapan oknum-oknum pemberi perintah dan pelaku pelanggar HAM ini.
Siapa pun pihak-pihak terduga pelaku dan penyuruhnya, sebaiknya segera dinonaktifkan dari kedudukan strukturalnya. Para individu ini harus diproses secara objektif dan bebas dari anasir tekanan dan intervensi pihak mana pun.
Tidak boleh diberikan kesempatan adanya oknum pemberi perintah yang merekayasa kasus ini dengan membangun alibi bahwa petugas di lapangan membela diri sehingga sah membunuh. Padahal itu dilakukannya untuk menutupi rencana pembunuhan terhadap korban atas nama penegakan hukum.
Pemberi perintah dan pelaksana perintah adalah oknum Polri yang harus dimintakan pertanggungjawaban hukumnya secara individual. Dengan cara tersebut, maka citra institusi Polri dapat terselamatkan dari krisis kepercayaan, dan secara kelembagaan tetap berwibawa dalam mengemban tugas penegakan hukum.
Tantangan Kapolri Baru
Kita tentu saja menaruh harapan besar kepada figur Kapolri mendatang untuk memiliki komitmen tinggi dan kesungguhan pada usaha penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM oleh jajaran kepolisian ini.
Penyidikan yang dilakukan menyusul rekomendasi Komnas HAM kepada presiden tersebut, hendaknya mendapatkan proteksi dari Kapolri agar bisa memastikan tidak adanya intervensi dari unsur pimpinan Polri lainnya yang dapat merusak objektivitas temuannya.
Pimpinan Polri yang baru hendaknya menunjukkan kepada publik bahwa siapa pun individu dalam tubuh Polri yang salah dalam penerapan hukum, prinsip, prosedur, tata cara, serta melanggar kaidah penegakan hukum yang mengakibatkan kematian warga negara harus dimintakan pertanggungjawaban pidananya.
Jadi institusi Polri tidak melindungi anggota Polri yang salah secara hukum dan tidak akan membebaskannya dari sanksi hukum.
Dengan demikian, tidaklah benar anggapan di masyarakat selama ini bahwa Polri akan melindungi anggotanya yang terlibat dalam pelanggaran HAM terhadap 6 Laskar FPI, kalau pun di proses maka hanya akan memproses pelaku di lapangan saja tanpa membongkar siapa figur pemberi perintahnya
(Praktisi dan Pengamat Hukum)