Politik Uang Makin Mengakar Akibat Buruknya Sistem Lingkungan Politik

Politik Uang Makin Mengakar Akibat Buruknya Sistem Lingkungan Politik

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Partai politik selalu menjadi bahan diskusi menarik bagi banyak kalangan masyarakat. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan dinamika politik uang yang terus menghiasi kontestasi politik di tanah air.

Untuk itulah Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) kembali mengadakan diskusi seri ke-12 Forum 100 Ilmuwan Sosial dan Politik pada Selasa sore (26/1).

Dinamika politik uang dalam kontestasi politik yang nyaris selalu dikaitkan dengan partai politik menjadi topik bahasan untuk diskusi kali ini. LP3ES menghadirkan tokoh pemikir partai politik Indonesia serta praktisi dari partai Golkar untuk mengisi forum kali ini.

Mulai dari Ward Berenschot yang hadir dari Negeri Kincir Angin yang telah menerbitkan buku "Democracy for Sale" pada 2019, Burhanudin Muhtadi yang menjadi pakar politik uang, Firman Noor selaku pakar partai politik, serta Sekarwati yang hadir membawa perspektif praktis sebagai politikus perempuan.  

Seperti yang dikatakan Wijayanto selaku Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, diskusi kali ini penting karena ada pola penurunan OTT KPK yang sangat signifikan pada 2020. Hal ini sangat disayangkan, karena tren peningkatan setiap kali menjelang Pemilu yang berarti mengiyakan eksistensi politik uang menjelang periode kontestasi politik.

Ada collective action problem berupa dilema dari aktor politik terhadap praktik politik uang. Memang, ada sentimen penolakan dari politisi yang gagal melalui proses elektoral, tetapi mengapa politik uang masih terus berlanjut hingga saat ini? Alih-alih menghilangkan praktik politik uang, tetapi malah melemahkan KPK.

Namun, masalahnya tidak berhenti di sana. Sekarwati memaparkan bahwa masalah lain dalam reformasi adalah karena hanya ditujukan untuk mereformasi negara, bukan masyarakat. Padahal, prospek dan potensi masyarakat untuk terlibat dalam kancah perpolitikan negara jauh lebih penting.

Sehingga tidak mengherankan jika edukasi politik masih menjadi problema sendiri bagi bangsa ini. Para aktor reformasi 1998 sangat sedikit terlibat secara aktif dalam partai politik dan terlebih lagi parlemen.

Kalau pun ada, maka pada akhirnya mereka terjebak dalam sistem perebutan kekuasaan dan bahkan ikut memunggungi demokrasi. Oleh karena itu, demokrasi kita masih bersifat formalitas dan tidak secara substantif.

Sekarwati juga memaparkan beberapa rekomendasi untuk mereformasi partai politik dapat melalui beberapa metode.

Pertama, partai politik harus memiliki pimpinan yang berkarakter kuat dan visioner. Kedua, kader Parpol juga harus punya keinginan dan agenda yang sama untuk mereformasi Parpol.

Ketiga, harus ada regulasi yang melandasi upaya tersebut. Keempat, Parpol perlu memiliki unit sistem yang mendukung.

Kedepannya, lanjut Sekarwati, demokrasi di Indonesia memiliki tantangan tersendiri jika dikaitkan dengan politik uang. Mulai dari politik berbiaya tinggi hingga indikasi aktor politisi yang tidak kompeten yang ditawarkan kepada publik dalam proses elektoral.

Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari Ward Berenschot yang mengurai kembali temuannya dalam penelitian terkait koalisi dan mahar politik di Indonesia.

Ada penurunan jumlah calon dalam Pilkada dari tahun 2017 ke tahun 2018. Di sisi lain, ada kecenderungan partai politik mencari mahar yang terus meningkat dari setiap periode Pilkada.

Ideologi partai politik tidak mempengaruhi pembentukan koalisi untuk setiap Pemilu. Tidak ada kecenderungan yang signifikan untuk partai politik hanya berkoalisi dengan partai yang satu ideologi.

Menariknya, ada kecenderungan partai politik di tingkat lokal untuk berkoalisi mengikuti pola koalisi nasional.

Sebagian besar koalisi yang dibuat oleh calon itu cenderung untuk sekadar untuk memenuhi threshold, dan tidak mau mencari dukungan yang lebih besar jika sudah memenuhi persyaratan tersebut. Kecuali untuk calon yang elektabilitasnya tinggi, itu pun untuk mendapatkan patronase. Pola ini lah yang semakin populer dari sejak 2017 hingga saat ini.

Ward menambahkan, calon incumbent memperoleh dukungan koalisi yang lebih besar jika dibandingkan dengan calon yang bukan incumbent.

Jadi, Parpol tidak menyeleksi kandidat murni berdasarkan kapabilitas dan kualifikasi, melainkan menggunakan kandidat tersebut untuk memperoleh mahar politik dan akses terhadap sumber kekayaan negara (patronase). Di Indonesia, Parpol lebih cenderung mencari mahar politik di tingkat lokal. Karena, setelah memenangkan Pilkada, kandidat terkait dapat saja tidak memberikan patronase.

Firman Noor pun mengelaborasi temuan Ward lebih lanjut dengan menegaskan bahwa peranan elite partai dan kemunduran demokrasi adalah suatu hal yang kompleks.

Memang, politik Indonesia cenderung dikuasai oleh elite. Secara substansial, model yang terjadi di Indonesia dewasa ini sudah bukan lagi demokrasi, tetapi post-democracy. Hal itu karena keputusan penting ditentukan oleh inner-circle dan kedekatan di tatanan pemegang kekuasaan (elite).

Oligarki juga masih kuat, terlebih ketika partai masih lemah secara finansial. Maka praktik-praktik seperti politik dinasti juga marak terjadi, seiring dengan koruptor yang mengakar. Maka tidak heran jika Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia jauh lebih buruk dari masa Orde Baru.

Sebenarnya, hubungan antara partai politik dan penguatan demokrasi adalah suatu yang kompleks, karena bisa saja partai politik justru menyebabkan stagnasi dalam perkembangan politik. Tetapi, di sisi lain, bisa saja demokrasi belum cukup mapan untuk diterapkan di suatu wilayah.

Kemunduran demokrasi terjadi di beberapa negara dan semakin buruk dengan adanya pandemi Covid-19. Economist Intelligence Unit menunjukkan bahwa kualitas demokrasi mengalami stagnasi. Terlebih, penelitian LIPI mengungkapkan bahwa 46,7% masyarakat menganggap bahwa politik uang itu dapat dimaklumi.

Burhanudin Muhtadi pun mengulik adanya peranan elite partai nasional dalam membangun perspektif masyarakat umum tentang pandangan mereka terhadap nilai-nilai demokrasi. Ada kecenderungan partisan (masyarakat umum) untuk berubah pendapat terkait dengan demokrasi setelah dipengaruhi oleh pernyataan figur politik nasional (Jokowi dan Prabowo). Ini berarti ada peranan dari elite untuk membangun perspektif masyarakat terkait nilai-nilai demokrasi.

Demokrasi mengalami regresi dalam konteks Indonesia itu juga disebabkan oleh perilaku elite yang mencoba untuk menarik konstituen untuk mendukung hal-hal yang bertentangan dengan demokrasi.

Padahal perilaku masyarakat umum itu penting. Karena terlalu penting maka mereka seharusnya menggunakan akal sehat ketika bertemu dengan kenyataan di mana politik di Indonesia mengalami polarisasi yang sangat kuat.

Polarisasi partisan tidak hanya dialami oleh negara dengan ideologi yang kuat di dalam partai politik (seperti Amerika Serikat), tetapi juga Indonesia yang notabene dikenal sebagai negara dengan party ID yang lemah dan klientalisme-nya kuat. Hal tersebut bukan disebabkan oleh ideologi partai politik, melainkan faktor figur.  

Diskusi kali ini kembali menerangkan dengan lebih tegas bahwa demokrasi bukan lagi seputar coblos-mencoblos surat suara. Lebih dalam, demokrasi juga ada kaitannya dengan elite, partai politik dan partisan.

Terlebih, eksistensi politik uang yang terus mengakar bukan hanya disebabkan oleh satu pihak, melainkan suatu sistem lingkungan politik yang buruk.

Diskusi LP3ES seri ke-12 kali ini menghadirkan sejumlah pembicara. Seperti Ward Berenschot (KITLV/Leiden University), Burhanudin Muhtadi (UIN Jakarta), Firman Noor (LIPI), Sekarwati (Wasekjen Partai Golkar), dan dimoderatori oleh Aisah Putri Budiatri (LIPI).(RMOL)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita