GELORA.CO - Gerakan Reformasi Hukum Indonesia (Gerah) meminta penegak hukum lebih menonjolkan rasa keadilan masyarakat dan hak konstitusi setiap warga negara.
Permintaan itu disampaikan Ketua Umum Gerah, Tantan Taufiq Lubis dalam Webinar on Law and Justice yang dilaksanakan Gerah, Jumat (29/1).
"Di era keterbukaan ini masih ada penasehat hukum yang masih belum dapat akses optimal untuk bertemu kliennya dan bahkan klien untuk bertemu dengan keluarganya secara fisik pun sangat terbatas. Kondisi ini semakin menimbulkan kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia," kata Tantan yang juga Ketua KNPI.
Webinar on Law and Justice dengan tema "Justice For All, Penegakan Hukum di Era Pandemi Covid-19", dihadiri oleh para akademisi dan aktivis muda nasional. Sebagai narasumber pada webinar itu adalah Radian Syam (dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti), Emanuel Hardiyanto (praktisi hukum yang juga Sekjen PMKRI periode 2011), dan Mevi Amanda Sari (aktivis Pemuda Organisasi Kerja sama Islam).
Adapun kaitan dengan adanya pandemi Covid-19 yang membuat lembaga aparat penegak hukum melakukan pembatasan terhadap penasehat hukum bertemu dengan kliennya, Radian Syam mengatakan harus dikembalikan ke aturan yang berlaku.
"Jika dilakukan penahanan terhadap tersangka, tentunya harus dikembalikan kepada aturan hukum yang diatur dalam KUHAP. Seperti kita ketahui bahwa tersangka memiliki hak untuk menghubungi penasehat hukum, selanjutnya memiliki hak dikunjungi dokter, hak diberitahukan keluarga tentang penahanannya, hak dikunjungi keluarga, hak dikunjungi rekan kerja, hak berkirim surat, dan hak dikunjungi agamawan atau rohaniwan. Ini diatur dalam pasal 57 sampai pasal 63 KUHAP," tuturnya.
"Jadi siapa pun aparat penegak hukumnya harus taat dengan konstitusi ini," ucap Radian menambahkan seperti dalam keterangan tertulis hari ini, Sabtu (30/1).
Dan senada dengan Tantan, Emanuel Hardiyanto mengkritik kebijakan aparat penegak hukum yang menurutnya tidak berpihak kepada kepentingan perlindungan hak asasi tersangka atau terdakwa.
"Ada beberapa pengacara yang tidak mendapatkan akses untuk bertemu dengan klien secara fisik di dalam tahanan. Ini tidak hanya terjadi di institusi kepolisian, namun juga terjadi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pembatasan ini berefek kepada tidak optimalnya penasehat hukum mendapatkan data dan informasi dari kliennya," kata Emanuel.
Dia pun mengatakan yang harus dilakukan adalah memperketat protokol kesehatan dan harus diterapkan tidak hanya kepada pengacara dan klien, tapi juga kepada aparatur penegak hukum yang setiap hari berada dalam lingkungan tahanan.
"Bukan membatasi pertemuan secara fisik penasihat hukum dan kliennya yang dapat menghambat maksimalisasi ikhtiar pembelaan dan pencarian kebenaran sesungguhnya," ujar Emanuel.
Sementara itu, Mevi Amanda Sari mengatakan bahwa tujuan dari penegakan hukum sejatinya adalah untuk mencari kebenaran, keadilan, dan menciptakan kedamaian.
"Prosedur hukum pun sudah disusun sedemikian rupa untuk mencapai tujuannya, yaitu suatu jaminan perlindungan hak dan keadilan. Namun proses penegakan hukum di Indonesia tak pernah luput dari berbagai sorotan karena penanganan kasus-kasus hukum kerap dibelok-belokkan oleh para oknum penegak hukumnya sendiri. Itulah yang membuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum pun akhirnya luntur,” imbuh Mevi.[rmol]