GELORA.CO - Misi pencarian serpihan Sriwijaya Air SJ-182 terbilang lebih mudah ketimbang Lion Air JT-610 yang jatuh pada tahun 2018 lalu. Walaupun kedua pesawat ini sama-sama mengalami kecelakaan di Laut Jawa.
Setidaknya hal itu yang dirasakan Serma (Mar) Hendra Syahputra, yang menjadi penemu pertama black box Lion Air 2018 dan kini ikut menyelam mencari puing pesawat Sriwijaya Air.
Kepada Kantor Berita Politik RMOL, Serma Hendra mengatakan medan peristiwa jatuhnya Lion Air lebih berat dibandingkan dengan Sriwijaya Air.
Cerita ini disampaikan saat Serma Hendra ditemui di atas perahu Searider Intai Amfibi I Marinir TNI AL usai melakukan pencarian black box di Tanjung Kait, Tangerang, Selasa (13/1).
“Sebenarnya kalau berat si berat Lion Air, karena dia lebih dalam. Kedalamannya di atas 30 meter,” ucap Hendra.
Pada penyelaman di misi kemanusiaan Lion Air, kata Hendra, penyelam memerlukan stasiun dekompresi lantaran melakukan penyelaman yang cukup dalam.
“Kalau penyelaman 30 meter itu kan kita terbatas, karena harus menggunakan stasiun dekompresi pada saat penyelaman,” katanya.
Berbeda dengan medan di kasus Sriwijaya Air. Penyelam tidak memerlukan stasiun dekompresi lantaran hanya menyelam di kedalaman maksimum 20 meter.
“Tetapi kendalanya itu tadi gelombang yang cukup besar, arus cukup kencang. kemudian lumpur yang cukip tebal di dasar laut,” tandasnya. [rmol]