GELORA.CO - Sorot media tengah tertuju pada sikap keras Ketua DPP PDI Perjuangan Ribka Tjiptaning yang terang-terangan menolak disuntik vaksin dari Sinovac, China.
Penolakan itu disampaikan dalam rapat kerja (raker) Komisi IX bersama Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/1).
Sikap ini dirasa cukup aneh. Sebab Presiden Joko Widodo yang merupakan petugas partai PDIP tengah gencar mensosialisasikan agar masyarakat mau divaksin. Selain memberi sanksi bagi mereka yang menolak vaksin, Jokowi juga rela untuk dijadikan orang pertama yang disuntik vaksin Sinovac.
Ribka keukeuh menolak. Wanita kelahiran Solo, 1 Juni 1959 itu lebih memilih kena denda ketimbang tubuhnya divaksin. Bahkan Ribka menyebut vaksin Sinovac ini tak ubahnya barang rongsokan di China yang jarang digunakan.
Penolakan ini juga didasari rasa ketakutannya pada vaksin-vaksin yang belum matang, yang justru merugikan rakyat kecil. Dia mencontohkan vaksinasi polio yang justru membuat orang yang disuntik mengalami lumpuh layu. Juga vaksin kaki gajah yang berbuntut meninggalnya 12 orang di Sindanglaya, Jawa Barat.
Namun terlepas polemik penolakan itu, sorotan juga tertuju kepada kebingungan Ribka dengan keputusan Jokowi memilih Budi Gunadi Sadikin sebagai Menkes.
Mulanya, Ribka mengaku ingin membedah politik kesehatan yang menjadi blue print Menkes Budi. Baginya, penunjukan Menkes Budi bukan sebatas untuk menangani Covid-19 dan kemudian terjadi perombakan lagi. Pasti ada garis haluan kerja dari seorang Menkes.
Anggota Komisi IX DPR itu lalu mengaku bingung dengan pilihan Jokowi. Sebab, sang menteri bukan berlatar belakang sebagai dokter. Sedangkan stok eselon untuk dokter melimpah, begitu juga dari luar PNS. Sejumlah nama bahkan dia sebut seolah menunjukkan nama tersebut lebih pantas.
Bagi Ribka yang pada Pilpres 2019 lalu mendapat tugas dari partai untuk memenangkan Jokowi, langkah-langkah mantan walikota Solo itu di periode kedua cukup membingungkan.
“Tiba-tiba yang latar belakangnya ahli nuklir dan ekonomi masuk. Apa mau dibom semua penanganan Covid-19 ini. Masalah dagang-dagang oke deh, tapi secara psikologis dokter itu akan beda,” katanya.
Pernyataan Ribka terus bersambung hingga mempermasalahkan tarif test swab yang berhubungan dengan lamanya hasil tes keluar. Ujungnya, dia mengingatkan kepada Budi Gunadi yang memiliki latar belakang sebagai ekonomi dan juga sebelumnya menjabat sebagai Wamen BUMN, bahwa negara tidak boleh berbisnis dengan rakyat.
Di tengah pernyataannya, penulis buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI” ini sempat meminta Budi Gunadi melepas masker yang menutup wajah. Alasannya, karena belum tahu secara betul wajah Budi Gunadi. Seolah menjadi tanda dia memang tidak mengenal sosok Budi Gunadi.
Puncaknya, Ribka menanyakan siapa pembisik Jokowi untuk penunjukan menkes.
“Jokowi ini pembisiknya siapa? Terakhir makin nggak jelas,” ujarnya sembari meminta sang menkes menyampaikan pesannya itu ke Jokowi.
Pernyataan Ribka ini tentu tidak boleh dipandang sebelah mata. Apalagi, dia merupakan orang yang selalu mendapat kepercayaan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk menjabat sebagai ketua PDIP sejak 2010 hingga sekarang.
Di PDIP sendiri, Ribka juga orang yang konsentrasi di bidang kesehatan. Bukan hanya latar belakangnya sebagai lulusan dokter UKI dan malang melintang sebagai dokter praktik di tahun 1990-an, tapi juga kematangan berpikirnya karena pernah menjabat sebagai Ketua Komisi IX DPR yang bermitra dengan Kemenkes.
Singkatnya, Ribka bisa dipandang sebagai perwakilan PDIP yang ingin meluapkan kekecewaan karena tidak dilibatkan dalam pembahasan calon menteri.
Di periode kedua Jokowi, PDIP memang seolah menjadi “terpinggirkan”. Setidaknya tidak ada kader banteng yang menjadi skuad utama dalam Tim Pengendalian Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi. Di mana penanganan Covid-19 sedang sedang menjadi fokus Jokowi, yang tentunya butuh orang-orang kepercayaan.
Sementara menteri dari PDIP yang “terlibat” menangani Covid-19 malah ditangkap KPK, yakni Juliari Batubara yang tersandung kasus suap bantuan sosial (bansos) saat menjabat sebagai Mensos.
Ada kecenderungan Jokowi kini lebih nyaman dengan orang-orang yang memang selama ini dekat dengannya. Setidaknya penunjukan Komjen Listyo Sigit Prabowo mengafirmasi dugaan tersebut. Hubungan Jokowi dan Sigit sudah terbangun sejak di Solo hingga akhirnya Sigit menjadi ajudan Jokowi.
Begitu juga dengan nama Luhut Pandjaitan dan Pratikno yang terus bertahan di kabinet karena sudah lama mengenal Jokowi.
Pertanyaannya kini adalah apakah masih pantas Jokowi disebut sebagai petugas partai dari PDIP, jika PDIP sendiri bingung dengan langkah kuda Jokowi.(RMOL)