GELORA.CO - Langkah Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad) mencopot jabatan Dr Asep Agus Handaka Suryana sebagai Wakil Dekan Bidang Sumberdaya dan Organisasi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FKIP) karena disinyalir pernah menjadi anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dinilai sebuah kemunduran.
Upaya itu mengingatkan masa-masa orde baru (orba). Dahulu untuk menduduki posisi tertentu di zaman Orba, seseorang harus bebas dari status eks Tapol (tahanan politik) atau G30S/PKI.
"Kalau soal mantan HTI, saya pernah tulis status begini di Facebook. Mungkin korupsi itu lebih dekat dengan Pancasila daripada syariat Islam, kenapa? Karena mantan koruptor bisa menjadi anggota DPR sedangkan mantan HTI tidak boleh jadi wakil dekan," kata Dr. Indra Perwira, S.H., M.H, pakar hukum Unpad dalam kanal Bravos Radio Indonesia di YouTube.
Stigmasi yang muncul belakangan ini atas eks organisasi yang dilarang pemerintah seharusnya tidak perlu terjadi setelah reformasi.
"Ya jadinya ini kan lucu. Orang-orang membuat stigmasi, padahal stigmasi itu dulu yang rame di orde baru," katanya.
Budaya politik di masa Orba sejalan dengan stigmatisasi eks tapol dan eks organisasi terlarang PKI.
Mereka yang hendak masuk menjadi pegawai pemerintah harus memiliki surat keterangan bersih diri (SKBD).
Surat ini menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak terlibat G30S PKI atau organisasi terlarang lainnya dan tidak pernah tersangkut perkara pidana dan atau perdata. Istilahnya, bersih diri dan bersih lingkungan.
Surat itu penting pada masa Orba jika pengin melamar PNS, polisi, anggota dewan, dan keperluan lain sesuai dengan instansi yang memintanya untuk persyaratan administratif.
"Budaya politik orde baru kan dengan stigmasi PKI, eks tapol. Nah sekarang Indonesia sudah reformasi mestinya mengadopsi paradigma baru, demokrasi, tetapi ternyata yang disodorkan akhir-akhir ini kembali ke masa lalu," tegasnya.
Dirinya mengkhawatirkan jika hal ini dibiarkan, maka stigmatisasi atas mereka yang pernah menjadi anggota FPI bisa terjadi di masa datang.
"Saya sendiri di Mahkamah Konstitusi sebagai ahli mengatakan, saya enggak ada urusan sama ideologi khilafah, saya nasionalis."
"Saya menghormati kesepakatan founding father, Pancasila. Namun masalahnya, saya tidak suka melihat di dalam negara Pancasila ini ada tindakan semena-mena," pungkas Indra Perwira.[]