SYAIKH Ali Jaber meninggal dunia hampir 20 hari, tapi kenangan terhadapnya masih melekat di benak banyak orang. Sikapnya yang humble, santun, dan bersahabat membawa kesan yang bakal dikenang jauh setelah kepergiannya.
Bagi Muhammad Nuh, gurubesar Institut Teknologi 10 Nobember (ITS) Surabaya, Syaikh Jaber adalah guru yang hebat. Guru bukan hanya orang yang mengajar kita secara formal, tapi dari siapa kita belajar, dialah guru kita.
Bagi Pak Nuh, Syaikh Jaber adalah guru agama dan guru kehidupan. Kedalaman ilmu agama dan keikhlasannya dalam menjalankan dakwah menjadi inspirasi bagi siapa saja.
Ketika Indonesia terbelah karena berbagai persoalan, Syaikh Jaber menjadi sosok yang mempersatukan. Ketika ada ulama yang mengambil jalan dakwah "nahi munkar", mencegah keburukan, yang sering terkesan keras, Syaikh Jaber mengambil jalan dakwah "amar makruf", mengajak kepada kebaikan, yang menenteramkan dan menyejukkan.
Bagi Pak Nuh, Sang Syaikh bukan sekadar "preacher" pendakwah yang hanya berpidato di mimbar, Syaikh Jaber adalah panutan yang memberi contoh dengan melaksanakan apa yang diucapkan.
Banyak pendakwah yang hanya pandai bicara tetapi tidak menerapkannya dalam hidup keseharian. Banyak pemimpin agama yang tidak menjalankan apa yang diucapkan. Di mimbar ia seolah-olah paling mengenal Tuhan. Jesus He Knows Me, kata penyanyi Phil Collins menyindir para pendakwah itu. "Do what I say but don't do what I do", lakukan apa yang saya katakan, jangan tiru apa yang saya lakukan.
Kiai, ulama, ustad, pendakwah, romo, pendeta, dan para pemuka agama sering menjadi selebritas profesional yang lebih mengutamakan show daripada dakwah. Penggemarnya banyak dan follower-nya ratusan ribu sampai jutaan. Apa yang diucapkan sekadar konten yang diunggah supaya viral. Apa yang diperbuat dan gaya hidup kesehariannya beda dengan konten medsosnya. Ustad semacam ini di Jawa Timur diledek sebagai "Ustad Jarkoni", iso ujar gak iso ngelakoni, hanya bisa bicara tapi tidak bisa menjalankan.
Pemimpin nasional yang bergaya Jarkoni lebih banyak lagi. Almarhum Gus Dur memperbandingkan budaya bangsa-bangsa di dunia dalam hal bicara dan bekerja.
Bangsa Jepang dan Korea yang terkenal sebagai pekerja keras yang efisien punya budaya ''sedikit bicara banyak bekerja", karena itu mereka maju. Bangsa Afrika punya ciri sedikit bicara sedikit kerja, terutama di Nigeria dan Angola. Karena itu Afrika masih ketinggalan dari negara-negara lain.
Beda lagi dengan China dan Amerika Serikat. Dua negara ini punya budaya "banyak bicara banyak bekerja". Budaya ini ternyata efektif meningkatkan produktifitas nasional, terbukti China dan Amerika sekarang menguasai perekonomian dunia.
Ada juga budaya yang unik, yaitu "banyak bicara sedikit bekerja. Itulah bangsa India dan Pakistan. Dua negara satu rumpun ini terkenal jago bicara dan hebat dalam berdebat. Karena itu India bisa melahirkan pusat perfilman Bollywood yang tidak kalah dari Hollywood.
Jangan salah juga, meski doyan omong tapi India dan Pakistan banyak melahirkan ilmuwan kelas dunia yang menjadi pemenang Nobel. Abdus Salam, seorang penganut Ahmadiyah dari Pakistan, memenangkan hadiah Nobel fisika pada 1979. Penemuan terbesarnya menjadi kunci yang mendasari teori fisika partikel yang mengilhami penemuan partikel Higgs Boson pada 2012 yang sangat termasyhur.
Amartya Sen, seorang filosof dan ahli ekonomi India memenangkan hadiah Nobel ekonomi pada 1998. Bukunya yang fenomenal adalah "Development as Freedom" (1998) yang menegaskan bahwa pembangunan ekonomi bisa berjalan seiring dengan pembangunan demokrasi.
Amartya Sen juga menulis buku "lucu" mengenai orang India yang doyan omong, "The Argumentative Indian" (2005) bahwa ternyata budaya banyak omong dan suka berdebat itu bisa menyuburkan demokrasi.
Di antara empat kategori itu bangsa Indonesia masuk kategori mana? Indonesia tidak termasuk dalam empat kategori itu. Mengapa? "Karena di Indonesia, antara yang dibicarakan dan yang dikerjakan beda," kata Gus Dur.
Indonesia mengenal jargon "sedikit bicara banyak bekerja". Tapi jargon itu cukup kita hafalkan di SD.
Orang Jawa punya falsafah "sepi ing pamrih rame ing gawe" sepi dari kepentingan dan ramai dalam kerja. Tapi praktiknya "sepi ing pamrih rame ing medsos", malas kerja tapi banyak komen di medsos. Tiada hari tanpa komen di medsos. Tiada hari tanpa debat di medsos. Apa saja dikomentari. Apa saja dikritik dan didebat.
Muhammad Nuh, seorang profesor ilmuwan teknik elektro, menyadari kelemahan bangsa Indonesia, tapi dia mengaku tidak bisa berbuat banyak karena merasa dirinya mungkin bagian dari budaya itu. "Hidup saya masih defisit," katanya dalam biografi ulang tahunnya ke-60 "Menguatkan Mata Rantai Terlemah" (2019).
Ia merasa hidupnya sudah mepet tapi defisit terlalu besar untuk ditutup. Antara apa yang dia dapat dari Allah dan apa yang nanti harus disetorkan ternyata defisitnya terlalu besar dan tidak mungkin bisa ditutup dalam hidup yang tersisa. Harus ada langkah besar yang tidak biasa untuk menutup defisit itu. Mungkin semacam quantum leap.
Seperti Archimides yang melompat dari bak air dan berteriak "Eureka", aku tahu! Pak Nuh menemukan erureka itu, ia akan melakukan wakaf, mendedikasikan sisa hidup sepenuhnya untuk wakaf.
Nuh mewakafkan hidupnya dan sekaligus berjuang agar umat Islam Indonesia membudayakan wakaf untuk memaksimalkan potensi ekonomi umat demi kemajuan bangsa.
Dulu kita mengenal wakaf hanya dalam bentuk langgar atau surau kecil yang sederhana di kampung. Atau orang yang punya aset tanah diserahkan ke yayasan untuk dibangun masjid atau madrasah.
Sekarang wakaf dikelola dengan sistem keuangan modern, diinvestasikan dalam usaha yang produktif, hasilnya bisa dipakai untuk membiayai pembangunan dan membantu masyarakat yang membutuhkan. "Tidak harus jutaan atau ratusan ribu rupiah, cukup sepuluh ribu rupiah sebulan, yang penting rutin," kata Pak Nuh.
Dia sekarang secara resmi didapuk sebagai Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan bertekad menghabiskan hidupnya untuk mengejar defisit melalui wakaf. Ia senang Presiden Jokowi telah melaunching Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU), Senin (25/1). Ia tahu tugasnya tidak mudah. Ia tahu banyak yang berkomentar negatif di medsos dan media lain.
Pak Nuh tidak mau terlibat dalam perdebatan itu. Ia malu kepada Syaikh Jaber. Ia ingin mengejar defisitnya. Ia tidak mau masuk dalam golongan Ustad Jarkoni.
(Penulis adalah Wartawan senior.)