GELORA.CO - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar meluruskan sejumlah data tidak valid yang kemudian menjadi polemik penyebab banjir Kalimantan Selatan.
Menteri Siti Nurbaya menegaskan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai pemegang mandat walidata pemantauan sumberdaya hutan, memastikan banjir tersebut bukan terjadi karena luas hutan yang berkurang.
“Penyebab banjir Kalsel anomali cuaca dan bukan soal luas hutan di DAS (daerah aliran sungai) Barito wilayah Kalsel,” tegasnya lewat akun Twitter pribadinya, Rabu (20/1).
Siti Nurbaya menerangkan bahwa DAS Barito Kalsel seluas 1,8 juta hektare hanya merupakan sebagian dari DAS Barito Kalimantan seluas 6,2 juta hektare.
Perhatian perlu diberikan pada daerah hulu DAS Barito, di mana seluas 94,5 persen dari total wilayah hulu DAS Barito berada dalam kawasan hutan. Berdasarkan data tahun 2019, sebesar 83,3 persen hulu DAS Barito bertutupan hutan alam dan sisanya 1,3 persen adalah hutan tanaman.
“Dalam hal ini hulu DAS Barito masih terjaga baik,” tekannya.
Sementara DAS Barito yang berada di wilayah Kalsel hanya mencakup 40 persen kawasan hutan dan 60 persen areal penggunaan lain (APL) atau bukan kawasan hutan.
Dia menekankan bahwa kondisi DAS Barito di wilayah Kalsel tidak sama dengan DAS Barito Kalimantan secara keseluruhan. DAS Barito di wilayah Kalsel memang berada di lahan untuk masyarakat atau disebut APL yang didominasi oleh pertanian lahan kering bercampur semak, sawah, serta kebun.
“Kejadian banjir pada DAS Barito di wilayah Kalsel tepatnya berada pada Daerah Tampung Air (DTA) Riam Kiwa, DTA Kurau, dan DTA Barabai karena curah hujan ekstrem. Dan sangat mungkin terjadi dengan recurrent periode 50 hingga 100 tahun,” terangnya.
Siti Nurbaya mengungkapkan bahwa penyebab utama banjir adalah anomali cuaca dengan curah hujan sangat tinggi. Di mana selama lima hari dari tanggal 9 hingga 13 Januari 2021, terjadi peningkatan 8 hingga 9 kali lipat curah hujan dari biasanya. Air yang masuk ke Sungai Barito sebanyak 2,08 miliar meter kubik. Sementara ukuran normalnya hanya 238 juta meter kubik.
“Daerah banjir berada pada titik pertemuan 2 anak sungai yang cekung dan morfologinya merupakan meander serta fisiografi-nya berupa tekuk lereng (break of slope), sehingga terjadi akumulasi air dengan volume yang besar,” sambung Siti Nurbaya.
Selain itu, ada juga faktor beda tinggi hulu-hilir yang sangat besar, sehingga suplai air dari hulu dengan energi dan volume yang besar menyebabkan waktu konsentrasi air berlangsung cepat dan menggenangi dataran banjir.
Ini sekaligus meluruskan pemberitaan beberapa informasi yang keliru dan menyebar massif di tengah situasi bencana. Terlebih lagi metode analisis kawasan hutan yang digunakan tidak sesuai standard dan tidak dengan kalibrasi menurut metode resmi yang dipakai.
Menurutnya, hasil analisis menunjukan penurunan luas hutan alam DAS Barito di Kalsel selama periode 1990 hingga 2019 adalah sebesar 62,8 persen. Penurunan hutan terbesar terjadi pada periode 1990-2000 yaitu sebesar 55,5 persen.
“Pada lima tahun terakhir cenderung melandai seiring dengan upaya massif dan konsisten yang dilakukan untuk rehabilitasi lahan,” masih kata Siti Nurbaya.
Sedangkan untuk mengurangi areal tidak berhutan di kawasan DAS Barito Kalsel, KLHK bersama para pihak melakukan rehabilitasi revegetasi atau penanaman pohon khususnya pada areal lahan kritis.
“Rehabilitasi DAS di Kalsel termasuk sangat massif dilakukan dalam lima tahun terakhir,” demikian Siti Nurbaya menekankan.(RMOL)