Oleh:M. Misbakhun
ADA pertanyaan yang sangat mendasar dan menarik untuk menjadi bahan perenungan sehingga menjadi proses pembelajaran dari sisi kebijakan publik.
Kenapa beberapa pengaturan di Kemenkeu di respon negative oleh media dan masyarakat sehingga diberikan tone pemberitaan yang negative. Contoh paling sederhana aturan PMK yang mengatur kembali soal pengenaan PPN pada token listrik dan pulsa yang sebelumnya sudah ada dan sifatnya hanya pengaturan kembali tanpa ada tarif baru atau obyek baru atau subyek pajak baru tapi direspon dengan negative.
Kejadian ini bukan pertama kalinya terjadi.
Sebelumnya, soal pengenaan PPN pada market place digital. Sifat PMK nya hanya pengaturan kembali juga mengalami respon yang sama yaitu respon yang negative dari media dan masyarakat.
Sebelumnya lagi, ketika keluar aturan PMK soal Wajib Pajak yang pada saat diperiksa pajak tidak memberikan datanya maka DJP bisa menetapkan besaran pajak terutang dengan menggunakan penetapan sesuai kewenangan yang dimilikinya sesuai aturan.
Juga di respon sangat negative oleh media dan masyarakat. Bahkan dalam kasus ini presiden sampai memanggil dirjen pajak langsung ke istana untuk menjelaskan permasalahan ini.
Pajak memang hal yang tidak populer, tapi masyarakat tahu pajak bahwa pajak adalah bagian kewajiban mereka dalam hidup bernegara dan berkontrak sosial karena pajak memberikan manfaat yang secara tidak langsung dirasakan oleh semua warga negera dalam kehidupan nya sehari-hari.
Jalanan yang bagus, listrik yang menyala 24 jam, telekomunikasi bisa ON 24 jam, pendidikan disubsidi, pasokan bahan bakar terpenuhi dengan merata dan harganya terjangkau, rumah sakit dan pelayanan kesehatan bisa dirasakan semua lapisan masyarakat, pemerintahan berjalan dari pusat sampai ke daerah bahkan pelosok dirasakan kehadiran nya.
Sementara gaji dokter, bidan, perawat, polisi, TNI, guru, dosen, menteri, anggota DPR, aparatur sipil negara semuanya bersumber dari pajaknya rakyat. Bantuan sosial yang massive saat covid19 ini juga berasal dari pajaknya rakyat termasuk sebagian dari pembelian vaksin covid19 yang diberikan gratis untuk seluruh rakyat Indonesia.
Itu semua hanya sebagian dari manfaat dan penggunaan pajak bagi peradaban manusia. Bagi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.
Kembali lagi, kenapa respon dari masyarakat dan media begitu negative nya setiap aturan pajak baru yang keluar dari pemerintah walaupun itu tidak ada tarif baru, obyek pajak baru ataupun subyek pajak baru hanya regulasi yang mengatur ulang aturan sesuai perkembangan dan keadaan jaman.
Ini respon ketidakpercayaan pada siapa? Padahal Kemenkeu dipimpin oleh Menteri Keuangan yang reputasi sudah diakui secara global. Setiap bicara di DPR dan saya hadir, Menkeu selalu juga bicara tiga hal yang selalu serangkai yaitu tata kelola, integritas dan good governance.
Tiga kalimat mantra yang jelas arahnya yaitu membangun kepercayaan publik. Tapi kenapa ketika mengatur soal aturan pajak respon nya jauh dari rasa dipercaya untuk mendapatkan kepercayaan itu.
Ada ambiguitas apa yang sedang terjadi di masyarakat soal kepercayaan ini? Sehingga masyarakat terkesan mendua soal respon mereka kepada menteri keuangan.
Apakah ini kegagalan sebuah public relations atau kegagalan komunikasi publik atau memang ini respon nyata yang sebenarnya.
Padahal dengan adanya moment kejadian Covid-19 saat ini, masyarakat fokus pada berita soal Covid-19 dan kebijakan negara yang terkait dengan semua urusan Covid-19 mulai dari jumlah orang terinfeksi Covid-19 tiap hari nya berapa sampai soal obat dan vaksin Covid-19.
Tapi ada sedikit saja lentingan berita soal aturan pajak token listrik dan pulsa telpon maka masyarakat seakan teralihkan sejenak dari urusan Covid-19 dan menggeser ke urusan pajak ini walaupun pada moment yang bersamaan ada urusan Abu Janda yang sedang dilaporkan.
Finally, ini ketidakpercayaan pada figur nya atau pada institusinya?
Percaya atau tidak percayapun, kejadian ini sedang terjadi.
(Anggota DPR RI yang juga pembelajar kehidupan)