GELORA.CO - Presiden Jokowi telah menerima suntikan vaksin Covid-19 pada Rabu (13/1/2021) sekitar pukul 9 pagi.
Lewat akun Twitternya, Ia menyampaikan harapan agar proses vaksinasi untuk seluruh rakyat Indonesia bisa berjalan lancar. Sayangnya, dua tokoh ini justru menyampaikan penolakan terhadap vaksin tersebut.
Tokoh pertama yang menolak adalah anggota DPR RI Fraksi PDIP Ribka Tjiptaning. Ia menyampaikan penolakan tersebut dalam sebuah rapat di gedung DPR.
Sedangkan tokoh kedua ialah dr Tifauzia Tyassuma yang menyampaikan penolakan lewat akun Facebooknya.
Dalam rapat tersebut, dokter Ribka secara tegas menolak vaksinasi Covid-19, ia mengaku sangat meragukan keamanan vaksin Covid-19 produksi Sinovac.
“Soal vaksin, saya tetap tidak mau divaksin meskipun sampai yang usia 63 tahun bisa divaksin,” katanya dalam Rapat Kerja Komisi IX dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, yang digelar daring Selasa 12 Januari 2021.
Selain Ribka Tjiptaning, ada juga sosok pakar epidemologi dr. Tifauza Tyassuma yang lantang menyampaikan penolakan terhadap agenda vaksinasi. Pandangan soal vaksin dari dr. Tifa ternyata berbeda dengan Ribka Tjiptaning. Bagi dr. Tifa, yang ia tolak bukan vaksin secara umum namun vaksin Sinovac yang akan digunakan secara masal di Indonesia.
“Saya bukan menolak vaksin, saya mendukung vaksin, saya taat Undang Undang. Hanya saja yang saya tolak adalah vaksin Sinovac,” ujarnya dilaman Facebooknya.
Dalam tulisannya ia mengakui bahwa banyak tenaga kesehatan sejawatnya yang mempertanyakan pernyataannya.
“Rupanya banyak pihak, termasuk teman sejawat para dokter dan nakes, yang heran atau tidak setuju dengan sikap saya yang keras soal vaksin Sinovac. Virus yang jadi bahan baku utama yang terbaik dan tertepat adalah virus yang beredar di lokasi di mana vaksin akan digunakan.” lanjutnya.
Tak hanya itu, dr. Tifa juga menyebut bahwa Indonesia punya vaksin buatan anak negeri yang menurutnya tak kalah baik dari Sinovac.
“Bahan baku vaksin Merah Putih dibuat dari virus yang beredar di Indonesia. Dan karena Coronavirus baru ada di Indonesia bulan Maret 2020, maka start pembuatan vaksin Merah Putih lebih lambat dibanding vaksin negara lain,” ujarnya.
Dijelaskan pula oleh dr. Tifa bahwa Indonesia punya pakar mikrobiologi kelas dunia di beberapa lembaga di bawah Koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi, salah satunya adalah Lembaga Eijkmann.
“Saya sangat paham dan yakin dengan kapabilitas para senior, guru, mentor dan teman sejawat para peneliti kedokteran. Saya yakin kualitasnya sangat baik.” ucapnya lagi.
Penolakan-penolakan dari para tokoh ini ditakutkan akan memengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap vaksin yang akan diterima. Dikhawatirkan pula jika pernyataan yang disampaikan akan memunculkan rasa takut di tengah-tengah masyarakat. []