GELORA.CO - Koordinator Jaringan Advokasi Tambang ( Jatam) Merah Johansyah merespons klaim Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko yang mengatakan, pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak mengobral izin baru untuk membuka tambang dan perkebunan sawit.
Merah menyanggah klaim Moeldoko tersebut dengan memaparkan data yang diolah dari Sistem Informasi Pinjam Pakai Kawasan Hutan (SIPPKH) di situs Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Faktanya, data tersebut menunjukkan bahwa sejak 2016 hingga 2020 terdapat total 592 unit Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
"Atau 241.613,25 hektar luas IPPKH yang dikeluarkan oleh Menteri LHK untuk digunakan bagi kepentingan non kehutanan termasuk sawit dan pertambangan," kata Merah saat dihubungi Kompas.com, Jumat (22/1/2021).
Berdasarkan data itu, ia berpendapat bahwa sepanjang pemerintahan Jokowi, izin baru untuk tambang dan sawit masih ada.
Bahkan, kata dia, jumlah dan luas IPPKH meningkat drastis dari rezim pemerintahan sebelumnya.
Namun, Merah tak memberi data detailnya berapa IPPKH pada rezim pemerintahan sebelum Jokowi.
Berkaca pada kasus Kalimantan Selatan, ia juga memberi pemaparan bagaimana gambaran IPPKH di daerah tersebut.
"Jika diperiksa di Kalimantan Selatan, hingga Juni 2020 terdapat 93 unit IPPKH dengan 56.727,86 hektar luasan untuk kepentingan non kehutanan termasuk sawit dan tambang," ujarnya.
Merah menduga, adanya izin tersebut telah berkontribusi bagi deforestasi atau kerusakan hutan dan lingkungan hidup di Daerah Aliran Sungai (DAS) utama di Kalimantan Selatan yang menyebabkan banjir besar.
Tak sampai di situ, ia juga mengolah data total jumlah unit IPPKH hingga Juni 2020 yang tersebar di seluruh Indonesia.
"Jatam mengolah data SIPPKH dari situs KLHK yang bisa diakses publik. Dari data yang diperoleh, ditemukan 1.034 unit IPPKH hingga Juni 2020," terang dia.
Adapun total luas lahan yang digunakan mencapai 499.655,57 hektar.
Merah menilai, luas ini nyaris setara dua kali luas Kabupaten Bogor.
IPPKH sendiri, kata dia, merupakan izin penggunaan kawasan hutan yang diberikan pejabat setingkat Menteri untuk kepentingan non kehutanan termasuk untuk sawit dan pertambangan.
Merah berpendapat, luas kawasan hutan yang diberikan izin tersebut sudah "diobral" sejak era Orde Baru, dan era Reformasi.
"Atau sejak zaman Menteri M.Prakosa (2001-2004), MS Ka’ban (2004-2009), Zulkifli Hasan (2009-2014), hingga Menteri Siti Nurbaya (2014-sekarang)," imbuh Merah.
Menurutnya, data-data yang dipaparkannya telah menunjukkan bahwa setiap menteri dan rezim pemerintahan berkontribusi pada menyusutnya kawasan hutan.
Bahkan ia menilai, sudah semestinya menteri dan rezim pemerintahan, termasuk rezim pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin melalui Menteri Siti Nurbaya dituntut untuk bertanggung jawab.
Ia sangat menyayangkan tindakan yang telah dilakukan pemerintah dengan mengizinkan penggunaan kawasan hutan, meski belum semua luasan dibuka.
"Namun, luasan obral izin penggunaan kawasan hutan tersebut setara dengan nyaris dua kali luas kabupaten Bogor yang luasnya 266.400 hektar," kata dia.
"Luasan ini belum termasuk luasan IPPKH bagi survei dan eksplorasi, juga belum termasuk aktivitas tambang tanpa izin di kawasan hutan," sambungnya.
Dengan berdasarkan data-data yang ada, Merah menyimpulkan bahwa apabila hutan diurus oleh Negara dan KLHK, justru akan menjadi penyebab utama deforestasi.
Terlebih, adanya konflik kepentingan menteri-menteri dari partai maupun oligarki korporasi tambang dalam urusan kehutanan mampu semakin melanggengkan deforestasi.
"Akibatnya adalah rakyat menjadi pengungsi sosial ekologis akibat bencana yang dituai. Karena itu episentrum bencana sesungguhnya ada di pemerintah dan elit politik itu sendiri," tutupnya.
Sebelumnya, Kepala KSP Moeldoko menanggapi kritikan sejumlah pihak yang menyebut deforestasi sebagai salah satu pemicu bencana banjir besar di Kalimantan Selatan.
Menurut Moeldoko, penyusutan lahan hutan di Kalimantan tidak berbanding lurus dengan perizinan yang dikeluarkan pemerintah untuk membuka tambang dan perkebunan sawit.
Dia menyebut, di masa pemerintahannya, Presiden Jokowi justru tidak mengeluarkan izin baru.
"Saya pikir zamannya Pak Jokowi itu, mungkin kita lihat lah tidak mengeluarkan izin-izin baru. Jadi mungkin perlu kita lihat lebih dalam seberapa banyak sih, izin-izin yang sudah diberikan dalam kepemimpinan beliau?," ujarnya di Gedung Bina Graha, Rabu (20/1/2021).
"Menurut saya bisa dikatakan sangat kecil. Saya tidak tahu persis ya. Saya akan cari ya. Namun intinya bahwa selama pemerintahan Presiden Jokowi tidak obral dengan izin-izin. Poinnya di situ," lanjutnya menegaskan. (*)