OLEH: RUSLAN TAMBAK
Usulan revisi UU pemilihan umum (Pemilu) yang sudah disetujui di Komisi II DPR, kini kembali diributkan.
Tiba-tiba ada beberapa fraksi yang menolak keras RUU tersebut. Di antaranya PPP, PAN dan PKB.
Padahal, draf RUU Pemilu sudah sampai ke meja Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk diharmonisasi. RUU ini juga masuk Prolegnas prioritas 2021.
Dalam draf yang tersebar, RUU Pemilu ini merangkum UU mengenai pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Artinya, pengusul RUU ini berharap, ke depan terkait kepemiluan, bangsa ini hanya memiliki satu undang-undang, yaitu RUU Pemilu.
Sebelumnya, UU Pemilu yang berlaku saat ini, juga merupakan gabungan dari undang-undang yang mengatur pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg).
Dan hingga saat ini, seperti pemberitaan di banyak media, hanya dua fraksi yang getol menyuarakan agar revisi UU Pemilu dilanjutkan, yaitu Partai Nasdem dan PKS.
Dua partai ini juga setuju normalisasi Pilkada. Pilkada 2022 dan 2023 kembali diagendakan seperti UU Pilkada tahun 2015, bukan seperti UU sekarang hasil revisi tahun 2016 (Pilkada serentak secara nasional 2024).
Lalu kenapa tiba-tiba banyak partai politik yang berubah haluan. Apakah permintaan (kesadaran) sendiri, atau ada yang menyuruh?
Kesadaran sendiri maksudnya, kalau revisi UU Pemilu ini tetap dilanjutkan, dikhawatirkan akan bias, dan bisa menusuk diri sendiri.
Misalnya, bagi partai menengah dan ke bawah, kalau ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dinaikkan, dari 4 persen menjadi 5 persen atau bahkan 7 persen, ini akan membahayakan.
Bisa-bisa tidak masuk lagi ke Parlemen, alias berhenti ngantor di Senayan.
Belum lagi sistem pemilu, meski mayoritas fraksi di Komisi II sepakat untuk tetap memilih opsi proporsional terbuka, namun partai besar seperti PDIP menginginkan proporsional tertutup.
Lalu, kalau bukan permintaan sendiri mundur dari pembahasan, apakah mungkin ada yang menyuruh?
Konon katanya, beberapa fraksi ramai-ramai menolak RUU Pemilu, karena keinginan orang tertinggi di negeri ini.
Khusus soal Pilkada, dinginkan tetap mengikuti UU yang lama. Yaitu, Pilkada serentak secara nasional dilaksanakan pada tahun 2024. Tidak ada Pilkada 2022 dan 2023.
Alasan lain, UU 7/2017 Pemilu, yang berlaku saat ini, belum sepenuhnya diterapkan. Sehingga tidak perlu mengubah UU Pemilu setiap lima tahun.
Juga saat ini, semua enargi harus dikerahkan untuk penanganan pandemi Covid-19.
Pemerintah disebutkan ingin lebih fokus pada pemulihan ekonomi ketimbang mengurusi pilkada.
Terkait lobi-lobi RUU Pemilu, apakah dilanjutkan atau dihentikan, awal tahun 2021, memang sudah mulai ramai diperbincangkan.
Kamis lalu (28/1), Presiden Joko Widodo mengumpulkan Tim Kampanye Nasional Pemenangan Jokowi-Maruf Amin, di Istana Negara. Disebutkan, salah satu yang dibahas adalah terkait urgensi revisi UU Pemilu dan UU Pilkada.
Selain tim kampanye, dikabarkan Presiden Jokowi juga sudah bertemu dengan sejumlah ketua umum partai politik koalisi. Pembahasan pertemuan juga masih seputar kepemiluan.