RESHUFFLE Kabinet yang dilakukan Presiden Jokowi mesti disambut baik. Berharap ini menjadi suplai optimisme bangsa ke depan.
Ada Sandiaga di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sosok pekerja keras yang bisa diandalkan jika bekerja. Lepas dari dinamika dan kontroversi politik Sandi dengan mantan para pendukungnya.
Ada Menteri Agama dari NU. Berharap kehadiran Menteri Agama berbasis pesantren Nahdliyin mampu mengurai situasi disharmoni antar ormas dan kelompok keagamaan yang selama ini terjadi. Berdiri sebagai bapak umat yang merangkul semua kelompok. Membangun jembatan silaturahmi dengan pola komunikasi yang lebih persuasif.
Dalam reshuffle kabinet, setidaknya ada dua koruptor diganti. Yaitu Menteri KKP Edy Prabowo dari Gerindra dan Mensos Juliari Peter Batubara dari PDIP. Rakyat berharap kedua menteri pengganti tidak mengulang kesalahan pendahulunya. Bisa semakin memperburuk nama partai yang merekomendasikan dan nama presiden sebagai pimpinan.
Terutama Risma, mantan Walikota Surabaya ini dikenal gigih dalam bertugas. Turun langsung ke lapangan menjadi ciri khas Ibu Mensos ini. Sampai-sampai ikut atur lalu lintas dan nyapu jalanan. Maklum, mantan kadis kebersihan, kata publik.
Secara pribadi, saya mendukung langkah Presiden menempatkan Risma sebagai Mensos. Cocok, karena Risma pekerja keras, gesit, tegas, dan suka turun langsung ke lapangan
Terobosan Risma untuk memberi bantuan langsung tunai layak diapresiasi. Tujuannya baik, agar tak ada ruang untuk main harga di sembako. Dengan bantuan langsung tunai diharapkan juga mampu mendorong roda ekonomi bergerak. Beras petani laku lagi. Harga gabah akan normal.
Untuk menunjukkan kinerja seriusnya, Risma pun blusukan. Hal yang biasa ia lakukan ketika jadi Walikota Surabaya. Langkah Risma blusukan mendapat banyak reaksi publik, baik positif maupun negatif.
Banyak pihak yang mengingatkan Risma bahwa kerja Walikota beda dengan Mensos. Wilayah Mensos itu seluas wilayah Indonesia, bukan seluas Jakarta, apalagi sungai Ciliwung. Jauh! Apalagi, rakyat Jakarta cenderung lebih sejahtera dibanding daerah lain. Jumlah orang miskin di Jakarta juga relatif lebih kecil.
Jumlah rakyat miskin tertinggi angkanya adalah Papua. Jumlah orang miskinnya 26,24%. Lalu Papua Barat 21,37%. NTT 20,9%. Maluku 17,44%. Gorontalo 15,22%. Bengkulu 15,03%. Aceh 14,99%. NTB 13,97%. Sulawesi Tengah 12,92%. Sumatera Selatan 12,66%.
Di Jawa Tengah ada 11,41% orang miskin. Jawa Timur 11,09%. Jawa Barat 7,88%. Banten 5,92%. Jakarta? Orang miskin di Jakarta hanya 4,53%.
Artinya, orang miskin di Jakarta lebih rendah dari wilayah Jawa lainnya. Jauh lebih kecil dari rata-rata jumlah penduduk miskin di luar Jawa.
Jadi, Risma enggak perlu gagal fokus jika ingin mengurangi jumlah kemiskinan rakyat. Ada banyak 'Ciliwung' di luar Jakarta yang harus lebih mendapatkan perhatian.
Jangan sampai ada stigma kurang positif seolah Risma sengaja diberi tugas untuk lebih fokus di Jakarta karena disiapkan maju di Pilgub DKI 2022/2024. Hal-hal yang berbau politik saat ini mestinya dihindari agar tak menimbulkan banyak polemik yang bisa mengganggu kinerja.
Agar bansos efektif, validasi data harus yang paling awal dilakukan. Data tidak boleh salah. Dan yang tak kalah penting adalah merumuskan jenis bantuan apa yang paling tepat. Tepat artinya punya pengaruh berarti bagi pertumbuhan kesejahteraan rakyat miskin.
Terakhir, memastikan bantuan itu sepenuhnya sampai dan tepat sasaran. Jangan sampai nyasar ke rekening partai atau rekening yang lain.
Untuk memastikan semua bantuan sampai ke sasaran, tak harus blusukan. Bayangkan, di Indonesia ada 74.957 desa. Sulit mencari model blusukan yang efektif.
Cukup buka layanan pengaduan misalnya, ini akan efisien dan efektif. Pastikan penerima bansos mendapat alamat pengaduan. Yang penting sosialisasinya serius dan masif.
Jika mekanisme dan kontrol kerja di Kemensos terukur, program bantuan akan sampai di tujuan dan sesuai harapan.
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa