OLEH: HERSUBENO ARIEF
SEBUAH video dengan judul blusukan Bu Mensos, viral di medsos. Video itu dicuplik dari liputan wartawan TV One Biro Surabaya.
Dia tengah mengunjungi sebuah perkampungan di bawah tol jembatan. Nama kampung itu sangat unik dan menarik. Kampung 1001 malam.
Jangan bayangkan situasi kampung itu seperti istana dalam dongeng yang berasal dari Timur Tengah.
Hanya namanya saja yang sama dengan judul dongeng sastra epik tersebut.
Kampung 1001 malam ini terletak di Kelurahan Dupak, kecamatan Krembangan, Surabaya Utara.
Dulu…eh maksudnya beberapa waktu lalu. Lebih tepatnya kurang dari satu bulan lalu, wilayah ini masuk dalam kawasan yang dipimpin seorang walikota bernama Tri Rismaharini.
Yups…benar. Beliau adalah Mensos yang kini sekarang sedang asyik blusukan di beberapa titik kota Jakarta.
Bertemu pemulung, pengemis, dan gelandangan. Dia menawarkan rumah, menawarkan pekerjaan, dan penghidupan yang layak.
Janji-janji indah. Happily ever after.
Sebuah kehidupan yang selama ini, barangkali dalam mimpi pun tak berani dibayangkan oleh mereka.
Kembali ke Kampung 1001 malam tadi.
Nama “indah” itu muncul karena sepanjang hari, baik siang ataupun malam, suasananya sama saja. Gelap karena kurangnya pencahayaan.
Tidak semua rumah berada di kolong jembatan tol. Sebagian warga tinggal di lahan terbuka, di bantaran Sungai Kalianak.
Semua pemukiman tersebut statusnya tanah negara. Hak kuasa tanah-tanah itu adalah PT Jasa Marga yang mengelola jalan tol.
Untuk sampai ke kawasan yang terbuka itu kita harus melewati kolong jalan tol yang gelap. Warga menamakannya “terowongan Mina.”
Untuk dapat melewati terowongan ini, perilaku Anda harus “sopan.”
Anda harus jalan setengah menunduk. Kolong jembatan sangat rendah.
Luar biasa!
Rakyat Indonesia, khususnya warga Surabaya. Mereka tetap tak kehilangan daya humornya, walau harus hidup dengan suasana yang memprihatinkan.
Imajinasi mereka luar biasa. 1001 malam, dan terowongan Mina.
Semua tempat itu pasti hanya hidup dalam angan-angan mereka.
(Luput dari perhatian)
Kembali ke liputan reporter TV One.
Dia bertemu dengan Ketua RT setempat bernama Sigit Santoso alias Pak Mamik.
Menurut Pak Mamik, di bawah kolong jembatan ada 16 KK.
Sementara di bantaran sungai ada 170 KK. Mereka tinggal di kawasan itu sudah lebih 20 tahun.
Kondisi kehidupan mereka sangat memprihatinkan.
Selain gelap kawasan itu sering banjir. Mereka harus mengungsikan benda-benda berharga ke pinggir jalan tol ketika banjir tiba.
Menurut pengakuan Pak Mamik, sampai saat ini belum pernah ada bantuan dari Pemkot Surabaya.
Satu dua kali, diakuinya memang sudah pernah ada pejabat yang menjenguknya.
Bagaimana dengan walikota (dulu) Risma?
Berdasarkan pengakuan, ibu Walikota belum pernah menjenguk.
Situasi kontras ini lah tampaknya yang membuat wartawan di Surabaya kembali berbondong-bondong mengunjungi Kampung 1001 malam.
Mereka menampilkan situasi paradoks ini.
Hanya dalam beberapa hari menjadi Mensos dan tinggal di Jakarta, Risma bisa langsung menemukan puluhan tuna wisma dan gelandangan.
Panti Rehabiltasi Pangudi Luhur di Bekasi langsung penuh dengan gelandangan, pemulung dan pengemis. Sebagian dilatih kerja, dan sebagian disalurkan menjadi “karyawan” di BUMN.
Di Surabaya Risma menjadi walikota selama dua periode. Sebelumnya puluhan tahun mengabdi menjadi ASN di Pemkot Surabaya.
Kok bisa-bisanya dia “tidak tahu” ada ratusan warganya yang masih tinggal di kolong jembatan.
Profesi mereka juga sama. Pengamen, pemulung, dan pengemis. Sebagian membuka warung kecil-kecilan.
Mudah-mudahan saja Bu Risma tidak sedang mengidap “rabun dekat.” Hanya bisa melihat gelandangan yang berada jauh di Jakarta.
Bu Risma kalau ada waktu pulang ke Surabaya, jangan lupa mampir ke Kampung 1001 malam ya.
Mereka ini juga masuk dalam ruang lingkup kerja Anda sebagai Mensos. Masih jadi tanggung jawab Anda.
Anda kan bukan Kepala Suku Dinas Sosial Jakarta Pusat. Tapi Mensos RI.
Sampai jumpa di Kampung 1001 malam Bu Risma……..end.
(Penulis adalah wartawan senior)