GELORA.CO - Setiap kali menaiki pesawat, biasanya di dalam kantong kursi penumpang terdapat kartu keselamatan berupa satu lembar kertas tebal dengan laminasi berisi gambar-gambar berwarna berikut narasi yang intinya mengenai petunjuk keselamatan selama mengikuti penerbangan.
Para awak kabin sebelum pesawat mengudara biasanya juga memperagakan cara menggunakan alat-alat keselamatan penerbangan di depan para penumpang.
Para awak kabin akan memberitahukan bagaimana cara memasang juga melepas sabuk pengaman, mengenakan masker oksigen dengan benar, memberitahukan di mana lokasi pelampung serta bagaimana untuk mengembangkannya.
Kru pesawat setelah memperagakan prosedur keselamatan juga mengajak kepada penumpang pesawat agar membaca kartu petunjuk keselamatan yang tersedia di setiap bangku.
Tak hanya itu, penumpang yang duduk di dekat pintu darurat akan di-briefing bagaimana cara membuka pintu tersebut apabila terjadi terjadi peristiwa darurat sehingga seluruh penumpang harus segara dievakuasi ke luar pesawat. Orang yang duduk di dekat pintu darurat merupakan orang pilihan dan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap penumpang lain di pesawat tersebut.
Kalau membaca dalam kartu keselamatan itu terdapat apa yang harus dilakukan apabila pesawat mendarat di air (laut atau sungai). Selain evakuasi melalui pintu yang tersedia, pintu darurat juga difungsikan apabila terjadi pendaratan di air.
Untuk itu setiap maskapai penerbangan selalu menyediakan pelampung di setiap bangku-bangku penumpang termasuk bagi bayi dan balita.
Dengan demikian setiap pesawat berbadan lebar memang didesain mampu mendarat di air apabila terjadi keadaan darurat. Termasuk seperti dialami pesawat Sriwijaya Air dengan kode penerbangan SJ 182 yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu.
Pesawat yang digunakan Sriwijaya Air SJ 182 merupakan jenis Boeing 737-500 yang ditenagai dua mesin CFM56-3C1 buatan CMFI, perusahaan patungan Safran Aircraft Engine dari Prancis dengan GE Aviation dari Amerika Serikat. Dalam kartu keselamatan pesawat ini juga memungkinkan mampu mendarat di air.
Berhasil
Sebenarnya banyak kisah-kisah pilot yang berhasil mendaratkan pesawatnya di air bahkan menyelamatkan seluruh penumpang berikutnya awaknya. Salah satu kisah pesawat mendarat darurat di air bahkan pernah dibuat filmnya dengan judul “Sully” yang dibintangi aktor kenamaan Tom Hanks.
Film ini diangkat dari kisah nyata Kapten Chesley “Sully” Sullenberger yang terpaksa harus mendaratkan pesawat US Airways dengan nomor penerbangan 1549 yang dipilotinya di permukaan Sungai Hudson setelah
mesin mengalami kerusakan akibat bertabrakan dengan kawanan burung.
Keputusan Kapten Sully untuk mendaratkan pesawat di atas Sungai Hudson di Kota New York ini berhasil menyelamatkan 155 penumpang. Film ini menggambarkan bagaimana pilot harus bisa mengambil keputusan terbaik pada waktu yang tepat untuk menyelamatkan penumpangnya.
Bagi yang sudah pernah menonton film ini akan melihat bahwa setiap insiden pesawat udara selalu ada faktor manusia disamping teknologi. Sebagai sutradara Clint Eastwood berhasil mengangkat film ini menjadi tontonan yang menarik tanpa menambah atau mengurangi dari peristiwa sebenarnya.
Kisah keberhasilan mendarat di perairan juga terjadi di Indonesia. Tepatnya tanggal 16 Januari 2002, pesawat Boeing 737-300 milik maskapai penerbangan Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA421 terpaksa mendarat di anak sungai Bengawan Solo setelah kedua mesinnya mati akibat cuaca.
Pesawat dengan rute Lombok-Yogyakarta ketika itu membawa 54 penumpang dan enam awak kabin. Meskipun dalam peristiwa itu seluruh penumpang berhasil diselamatkan, akan tetapi salah seorang awak kabin Santi Anggraeni meninggal dunia, diduga terhisap keluar akibat ekor pesawat pecah saat saat pesawat mendarat darurat.
Pesawat yang dipiloti Kapten Abdul Rozak dan kopilot Haryadi Gunawan menghadapi cuaca buruk saat akan menurunkan ketinggian jelajah menuju Bandara Adisutijipto Yogyakarta. Kapten penerbangan atas persetujuan ATC saat itu memutuskan untuk sedikit menyimpang dari rute seharusnya.
Keputusan cepat itu diambil karena di depan pesawat terdapat awan yang mengandung hujan dan petir. Pilot lantas mencoba untuk terbang menembus awan badai itu. Sekitar 90 detik setelah memasuki awan, pesawat turun ke ketinggian 18.000 kaki namun mendadak kedua mesin mati dan kehilangan daya dorong.
Pilot dan Kopilot saat itu mencoba menghidupkan unit daya cadangan (auxiliary power unit/APU) agar mesin bisa kembali menyala. Namun upaya itu ternyata tidak membuahkan hasil, hingga pesawat mencapai ketinggian 8.000 kaki pilot akhirnya memutuskan mendarat di anak sungai Bengawan Solo.
Pesawat berhasil mendarat di sungai dengan kondisi tidak mengeluarkan roda pendaratan serta tidak membuka sayap. Saat evakuasi kondisi pesawat mengalami kerusakan pada bagian hidung dan mesin.
Hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) saat itu menyebutkan pilot yang mengetahui kondisi di luar kokpit seharusnya tidak berupaya menembus awan. Terakhir diketahui awan badai yang berusaha ditembus GA421 itu mengandung es, kondisi ini yang membuat mesin pesawat mati dan tak mau dihidupkan.
Peristiwa mendarat di permukaan air juga dialami pesawat Lion JT904 jenis Boeing 737-300 saat mendarat di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali dengan asal penerbangan Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat.
Pesawat yang dikendalikan Mahlup Ghazali dan Kopilot asal India, Chirag Kaira, mendarat keras di perairan sebelah barat runway sehingga membuat badan pesawat terbelah menjadi dua bagian. Penumpang pesawat sebanyak 110 orang dan tujuh kru pesawat selamat dalam peristiwa itu, meski sebanyak 45 diantaranya harus menjalani perawatan karena luka-luka.
Investigasi KNKT menyebutkan peristiwa itu disebabkan adanya kabut tebal di ujung landasan. Awalnya kendaraan dikendarai oleh kopilot, namun saat akan mendarat diambil alih oleh pilot. Pilot dinilai tidak mampu membaca secara akurat peristiwa di depannya, lantas mencoba manuver tetapi sudah terlalu dekat dengan ujung landasan sehingga akhirnya jatuh ke laut.
Saksi mata dari sejumlah penumpang, saat itu merasa pesawat akan mendarat seperti biasa. Tetapi kejadian berlangsung sangat cepat, setelah mendengar suara seperti tabrakan, sesaat kemudian badan pesawat sudah pecah menjadi dua dan air laut langsung masuk ke kabin.
Tak mulus
Namun tidak semua gangguan penerbangan entah akibat mesin atau cuaca membuat pilot pesawat bisa dengan mulus mendaratkan pesawat di tengah laut. Dalam beberapa peristiwa kecelakaan penerbangan di atas laut berakibat fatal, pesawat jatuh berkeping-keping bahkan ada yang tidak ketahuan rimbanya.
Mungkin masih ingat Pesawat Malaysia Airlines MH370 yang sampai saat ini tidak pernah ditemukan. Pesawat jenis Boeing 777 ini hilang dalam penerbangan dari Kuala Lumpur menuju Beijing membawa 227 dan 12 awak pada tanggal 8 Maret 2014. Peristiwa itu bahkan menjadi perhatian dunia mengingat penumpangnya di dalamnya terdiri dari berbagai warga negara.
Pesawat itu lepas landas dari bandara internasional Kuala Lumpur (KLIA) pada pukul 00.41 dini hari waktu setempat seharusnya dijadwalkan tiba di bandara internasional Beijing Capital pada pukul 06.30 waktu setempat.
Peristiwa hilangnya MH370 sampai saat ini masih menjadi misteri mengingat pesawat masih mengirim posisi terakhir ke pusat pengatur lalu lintas udara melalui transmisi suara. Namun suara yang dikirim pukul 01.19 itu merupakan pesan terakhir setelah pesawat kemudian dinyatakan hilang karena tidak sampai ke bandara tujuan.
Kecelakaan fatal juga menimpa beberapa maskapai di dalam negeri. Tepatnya tanggal 1 Januari 2007, pesawat Boeing 747-400 milik maskapai penerbangan Adam Air juga mengalami kecelakaan di atas laut saat melayani rute Surabaya-Manado.
Pesawat dengan kode penerbangan DHI574 membawa 96 penumpang dan 6 awak berangkat dari Bandara Juanda Surabaya pukul 12.55 waktu setempat, namun pada pukul 14.07 WIB pesawat hilang kontak dan dinyatakan tenggelam di dasar perairan Sulawesi.
Kotak hitam pesawat baru ditemukan pada tanggal 28 Agustus 2007 di perairan Majene, Sulawesi Barat. Investigasi KNKT menyebutkan jatuhnya DHI574 akibat cuaca buruk, kerusakan pada alat bantu sistem navigasi inersia (IRS), dan kegagalan kinerja pilot dalam menghadapi situasi darurat.
Kecelakaan serupa dialami pesawat Air Asia QZ8501 jenis Airbus 320-300 dengan rute penerbangan Surabaya-Singapura pada tanggal 28 Desember 2014. Kecelakaan ini mengakibatkan 155 penumpang dan 7 kru meninggal dunia setelah pesawat jatuh di perairan antara Pulau Belitung dan Pulau Kalimantan.
Pesawat yang berangkat dari Surabaya pukul 5.36 WIB seharusnya tiba di Singapura pada pukul 6.57 WIB. Namun pada pukul 6.17 merupakan sinyal terakhir yang diterima ATC serta pesawat dinyatakan hilang.
Investigasi KNKT menyebutkan penyebab pesawat jatuh akibat kerusakan pada bagian ekor namun direspon dengan salah atau terjadi miskomunikasi antara pilot Kapten Irianto dan kopilot Emmanuel Plesel membuat pesawat kehilangan daya angkat.
Kasus berikutnya menimpa pesawat Lion Air dengan kode penerbangan JT610 rute Jakarta-Pangkal Pinang tanggal 29 Oktober 2018. Sebanyak 189 orang yang terdiri dari 179 penumpang dewasa, 1 penumpang anak, 2 bayi, 2 pilot, 5 kru dinyatakan meninggal dunia setelah pesawat jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat.
Pesawat Boeing 737 Max 8 itu merupakan pesawat baru buatan Amerika Serikat setelah berangkat pukul 06.20 dari Bandara Soekarno Hatta, pesawat dalam hitungan menit jatuh, tepatnya pada pukul 06.33. Dalam peristiwa itu pilot sempat meminta kembali ke bandara asal (retrun to base) kepada ATC Bandara Soetta, namun pesawat tidak kunjung tiba.
setelah kecelakaan itu, Menteri Perhubungan saat itu, Budi Karya Sumadi mengeluarkan beberapa kebijakan. Kebijakan itu di antaranya membebastugaskan direktur teknik dan meninjau penerapan standar keselamatan penerbangan di maskapai berbiaya murah atau low cost carrier tersebut.
KNKT menyebut kecelakaan itu disebabkan banyak faktor mulai dari mekanik, desain pesawat, dan kurangnya dokumentasi tentang sistem pesawat. Faktor lain kurangnya komunikasi dan kontrol manual antara pilot dan kopilot sehingga mengganggu konsentrasi dalam mengendalikan pesawat.
Kondisi pesawat yang menggunakan teknologi baru dinilai juga belum cukup dikuasai pilot dan kopilot. Hal ini membuat pemerintah sebagai regulator mencopot direktur teknik dari maskapai berbiaya murah ini.
Selanjutnya, kecelakaan serupa juga menimpa pesawat Sriwijaya SJ182 rute Jakarta-Pontianak yang jatuh di perairan Pulau Lancang dan Pulau Laki, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta pada Sabtu (9/1) pukul 14.40.
Pesawat jenis Boeing 737-500 ini hilang kontak setelah melewati ketinggian 11.000 kaki dan pada saat menambah ketinggian menjadi 13.000 kaki.
Proses evakuasi sampai saat ini terus berjalan dengan fokus kepada korban serta pencarian kotak hitam pesawat. Bersamaan dengan itu juga dilakukan pengangkatan puing-puing pesawat.
Sampai tulisan ini diturunkan proses investigasi terhadap jatuhnya SJ182 masih terus berjalan seiring dengan temuan puing-puing pesawat di dasar laut. Salah satu misteri adalah alasan berbeloknya arah pesawat dari rute seharusnya, setelah berkoordinasi dengan ATC.
Dari berbagai peristiwa pendaratan di air memang kasusnya beragam. Namun pilot dan kopilot memiliki peranan penting untuk menguasai teknologi pesawat selain berbagai faktor lainnya seperti kondisi cuaca dan kondisi mesin pesawat.
Sebagai penumpang langkah terbaik seperti disebutkan di atas agar membaca petunjuk keselamatan dan tentunya menyimak instruksi yang disampaikan awak kabin maupun pilot/ kopilot.
Kalaupun terjadi peristiwa bagi penumpang hanya dapat berdoa dan berserah diri kepada Tuhan yang maha esa. Kemudian kalau pesawat memang bisa selamat mendarat di air prosedur menggunakan pelampung sangat diperlukan.
Kejadian Lion JT904 yang tercebur di laut memperlihatkan air dengan cepat masuk ke dalam kabin pesawat. Kesigapan penumpang sangat dibutuhkan agar bisa melakukan evakuasi diri tentunya dengan petunjuk kru penerbangan. (*)