GELORA.CO - Pemilik akun Facebook @yeyen, Ardian Rafsanjani (25) ditangkap polisi usai mengunggah berita bohong atau hoax soal pembubaran ormas Front Pembela Islam (FPI). Berikut ini fakta seputar kasus ini.
Di akun Facebook-nya, Ardian mengunggah tautan berita media online Law Justice. Berita itu berjudul 'Lewat Parpol di RI, Partai Komunis China Disebut Desak Bubarkan FPI'.
"Beredar artikel yang disebarkan akun Facebook Yeyen dengan judul: 'Lewat Parpol di RI, Partai Komunis China Disebut Desak Bubarkan FPI', itu TIDAK BENAR alias HOAX," kata Kabid Humas Polda Kalimantan Tengah (Kalteng) Kombes Hendra Rochmawan dalam keterangan tertulis, Sabtu (2/1/2021).
Hendra menyebut artikel berita yang diunggah Ardian mengandung berita bohong karena pembubaran FPI didasari SKB 3 menteri dan 3 pimpinan lembaga negara lainnya. Hendra menegaskan keputusan pemerintah membubarkan FPI tanpa intervensi pihak mana pun.
"Faktanya keputusan pemerintah melalui surat keputusan bersama 3 menteri dan 3 pimpinan lembaga tentang larangan kegiatan penggunaan simbol dan atribut serta penghentian FPI tidak dipengaruhi oleh pihak mana pun. Ini murni keputusan Pemerintah Republik Indonesia dengan berbagai pertimbangan dan dasar hukum yang jelas," jelas Hendra.
Berikut ini sejumlah fakta seputar unggah Ardian:
Ardian Mengaku Tak Tahu Sudah Posting Artikel Hoax
Hendra mengatakan Ardian mengaku tak tahu soal benar atau tidaknya isi artikel berita tersebut. Hendra menyebut Ardian lalu meminta maaf saat di kantor polisi semalam (Jumat, 1/1).
"Warga Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), tersebut mengaku menyebarkan hoax karena tidak tahu kalau berita tersebut hoax, dan ia berjanji tidak akan mengulanginya lagi," terang Hendra.
Ardian Hanya Dibina
Hendra menerangkan pihaknya tak melanjutkan proses hukum terhadap Ardian. "Dibina sama kita, hanya minta maaf, nggak diproses. Tapi postingannya distempel hoax sama Bid Humas Polda Kalteng," tutur Hendra.
Situs Sumber Awal Artikel Tak Terdaftar di Dewan Pers
Situs sumber awal terkait berita hoax 'Partai Komunis China Desak FPI Bubar' tak terdaftar dalam Dewan Pers.
Berita yang dilabeli hoax oleh Polda Kalteng adalah berita dari tautan media law-justice.co. Judulnya adalah 'Lewat Parpol di RI, Partai Komunis China Disebut Desak Bubarkan FPI'.
Dalam beritanya, law-justice.co menuliskan keterangan bahwa berita itu dilansir keuangannews.id. Maka, berdasarkan keterangan ini, sumber berita hoax adalah keuangannews.id.
Pengecekan di 'Data Perusahaan Pers' pada situs dewanpers.or.id dilakukan detikcom pada Sabtu (2/1/2021).
Hasil pencarian menunjukkan law-justice.co terdaftar di Dewan Pers. Badan hukum law-justice.co adalah Media Keadilan Sejahtera.
Namun keuangannews.id tidak terdaftar di Dewan Pers. Pencarian dengan kata kunci 'keuangannews.id' dan 'keuangan news' tidak memunculkan hasil. Polisi pun akan meminta konfirmasi kepada media online tersebut.
"Kami akan minta konfirmasi, nanti posting-an media online ini akan ditindaklanjuti karena menimbulkan kesan SARA, menimbulkan keresahan," kata Hendra.
Tanggapan Dewan Pers
Dewan Pers memberi tanggapan atas kasus berita 'Partai Komunis China Desak FPI Bubar'. Berita itu dimuat oleh media terdaftar di Dewan Pers dan media yang tidak terdaftar di Dewan Pers.
"Terkait ini, medianya terdaftar atau belum terdaftar itu bukan jadi domain utama. Artinya, bisa jadi medianya belum terdaftar karena sesuatu hal dalam proses pendaftaran," kata Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers Agung Dharmajaya saat dihubungi detikcom, Sabtu (2/1/2021).
Dewan Pers melalui Agung Dharmajaya memberi tanggapan atas ditangkapnya Ardian (25) pengunggah link berita law-justice.id.
"Karena ada komentar dan membuat orang lain tidak nyaman itu yang membuatnya menjadi persoalan," ujar Agung Dharmajaya.
Agung mengatakan, jika sepanjang kita memang meng-copy paste dengan link-nya dan tidak ditambah dengan komentar, jadi hanya link-nya saja, itu tidak akan jadi masalah.
"Sepanjang yang kita copy paste menyertakan link utuh apa yang dimuat di berita sama yang copy paste link yang di media platform media sosial kita, maka itu ranahnya tetap media," jelas Agung.
Dirinya juga menjelaskan hal yang sering terjadi adalah ketika ini sudah masuk media sosial kemudian dikomentari orang banyak dan merasa tidak nyaman inilah yang memunculkan persoalan hukum.
"Jadi sebetulnya yang diadukan bukan link medianya, tetapi ekses dari komentar yang muncul dari pemberitaan tersebut," jelasnya.
Apabila ada orang yang tidak nyaman dengan berita suatu media pers, media yang bersangkutanlah yang harus bertanggung jawab.
"Medianya yang akan bertanggung jawab, bukan kami selaku pembaca yang mem-publish atau me-repeat lagi," kata dia.(dtk)