Penulis: Syahrul Efendi Dasopang*
PADA tahun 2001, saya bikin skripsi. Sebagai mahasiswa yang tidak mau sekedar bikin penelitian yang hanya memenuhi tugas akhir, saya ambil topik tentang FPI dan Perjuangan Pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia.
Untuk penelitian ini, saya bersama Sobri Lubis - kini Ketua Umum DPP FPI - dibawa ke rumah Habib Rizieq Shihab (HRS) yang terpencil di bilangan Petamburan.
Jauh sebelum rumah HRS seperti sekarang yang relatif luas dan mudah diakses, dulu untuk sampai ke pintu depan rumah HRS, saya akan melewati gang yang cukup panjang dan sempit.
Tiba di akhir gang, barulah ketemu rumah HRS yang di beranda sebelah kanannya terdapat perpustakaan yang waktu itu banyak dengan buku-buku, dari berbahasa Indonesia dan Arab.
Saya nginap di perpustakaan itu ditemani seorang yang berkhidmat kepada HRS. Tujuannya agar memenuhi standard kren penelitian, yaitu observasi langsung dan partisipatoris. Biar nggak dibilang cuma studi perpustakaan dan literatur.
Pendeknya, biar tahu tidak saja tampilan permukaannya saja, tapi juga aspirasi dan suasana batin yang dialami FPI. Untuk tujuan metodologis ini, beberapa kali demo besar-besaran FPI di jalanan, dan di depan Gedung DPR, saya ikut berpartisipasi sekaligus mengobservasi. Pengajian dan zikir malam jumat dihiasi aroma khas juga ikut saya nikmati. Waktu itu.
Tentu saja waktu itu, pamor FPI belum sedahsyat seperti sekarang ketika sukses memobilisir seluruh wilayah Indonesia dan berhasil menggulung plot oligarki tertentu yang mencoba peruntungan untuk menempatkan paksa, Ahok sebagai Gubernur DKI, agar dapat dijadikan model dan preseden untuk setiap wilayah berbasis muslim.
Dan untuk mematahkan plot ilegal tersebut, FPI berhasil secara historis. Fakta ini tentu saja menimbulkan dendam politik yang sukar dilupakan oleh oligarki tertentu. Saya sendiri, telah mengabadikan peristiwa 212 ini dengan suatu reportase yang bagi pembaca berminat memilikinya, silakan diakses di: https://www.academia.edu/30995502/REPORTASE_DAN_ANALISA_GERAKAN_212. Atau sekalian jurnal utuhnya, bisa juga menghubungi staf kami.
Keperluan tulisan ini adalah berempati: bagaimana jika kita berada pada posisi HRS, yang hidup penuh tekanan dan sangat keras. Saya kira tidak semua orang akan sanggup. Penekannya saja bobotnya tidak sekedar preman kelas teri, tapi aparatus negara. Bagi yang tidak memiliki mental baja, mungkin karir aktivis seperti HRS, sudah tidak akan dilanjutkan, dan lebih baik istirahat dan ngurus anak bini. Tapi tidak bagi HRS.
HRS memulai karirnya dari penceramah dari mushola ke mushola, dari masjid ke masjid, dan dari tabligh akbar ke tabligh akbar. Menurut teman saya yang asli anak Betawi yang tahu riwayat dakwah HRS, hal itu sudah dimulai HRS jauh sebelum tahun 1998.
Tapi tahun 1998 adalah tonggak atau milestone bagi figur HRS. Peristiwanya ialah HRS sukses menaklukkan preman Ambon yang ditengarai meneror di daerah Ketapang, Jakarta Pusat. Yang namanya urusan standard reputasi dalam dunia preman adalah apabila berhasil menaklukkan preman yang paling disegani. HRS memimpin pertempuran itu sampai akhirnya para preman kocar-kacir dan kabarnya terpanggang di dalam suatu gedung fasilitas maksiat.
Nama HRS meroket. Dunia preman gentar. Tatanan oligarki yang berkebun preman untuk menyuburkan bisnis maksiat terganggu. HRS jadi buah bibir. Apalagi media juga mengukir dengan rajinnya figura HRS yang kontroversial. Tanpa diundang pun, media baik yang didanai kaum oligarki maupun partikelir, berlomba memburu HRS sebagai sumber berita, baik untuk disudutkan maupun untuk diplitur agar berharga dijual oleh media. Bersambung.
*) Alumni Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta.