GELORA.CO - Menteri Sosial Juliari Batubara jadi perhatian karena terjerat kasus korupsi kasus penyalahgunaan bantuan sosial atau bansos COVID-19. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyampaikan bahwa Juliari kemungkinan bisa diancam pidana hukuman mati.
Hal ini yang jadi bahasan acara Kabar Petang tvOne dengan tema Korupsi Bansos Menteri Sosial. Salah satu sesi acara ini terjadi adu argumen sengit antara Ketua Relawan Jokowi Mania Immanuel Ebenezer dengan politikus PDIP Kapitra Ampera.
Awalnya Kapitra menyampaikan pandangannya yang mengapresiasi Presiden Jokowi karena tak melindungi Juliari yang merupakan salah satu menteri di kabinet pemerintahannya yang juga politikus PDI Perjuangan. Menurut dia, sebagai kepala negara, Jokowi membiarkan KPK untuk melakukan penangkapan, penahanan terhadap Juliari.
"PDIP juga selaras dengan Presiden bahwa Ketua Umum (Megawati) menggarisbawahi dengan tegas tidak akan melindungi siapa pun yang menyalahgunakan kekuasaan," kata Kapitra dikutip VIVA pada Senin, 7 Desember 2020.
Giliran Ketua Jokowi Mania, Immanuel Ebenezer yang bicara. Ia mengatakan sudah berkali-kali ada peringatan bahwa pejabat kementerian jangan melakukan korupsi.
Dia menekankan kasus Juliari harus jadi efek jera. Ia menantikan KPK apakah berani menerapkan Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Gini, biar efek jera itu ada, kalau tidak dihukum mati, semua melihat ya biasa saja," ujar Immanuel.
Ia mengatakan jangan sampai terus dikaitkan korupsi itu budaya birokrat dan menjadi pemakluman. Menurutnya, Jokowi sudah menyatakan di periode keduanya atau pemerintahan terakhirnya ini akan melakukan penindakan hukum, termasuk kejahatan korupsi.
Dia menyampaikan korupsi termasuk perilaku kejahatan luar biasa atau extraordinary crime.
"Ini bahaya, ini kejahatan luar biasa. Ini extraordinary. Enggak ada pilihan lain selain hukuman mati buat penjahat-penjahat yang melakukan korupsi apalagi korupsi bansos," tutur Immanuel.
Diskusi sempat diisi dengan pandangan Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, Oce Madril. Ia mengatakan kasus Juliari masih perlu konstruksi hukum sehingga ancaman hukuman mati masih jauh.
Kemudian, Kapitra menyampaikan penjelasan kembali bahwa dalam hukuman mati harus proporsional menyesuaikan pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi. Menurut dia, pasal 2 dengan konstruksi hukum yang dialami Juliari berbeda.
Kata dia, konstruksi hukum harus jelas dan bukan mudah dibantahkan. Secara substansi, ia menekankan perlunya kepastian hukum yang ditegakkan untuk semua orang tanpa ada perbedaan.
"Justice for all ya, untuk semua itu yang penting," tutur Kapitra.
Merespons itu, Immanuel bilang pasal 2 bisa diterapkan terhadap Juliari karena syarat bencana nasional dan krisis ekonomi. Maka itu, hukuman mati layak diterapkan.
"Jadi, ya sudah lah hukuman mati saja lah. Kalau kita selalu berkompromi perilaku korup ini bangsa ini tak akan mampu menyelesaikan persoalan sendiri," kata Immanuel.
"Toh gini, hilangnya Juliari Batubara, bangsa ini tak pernah kehilangan dia," tegas Immanuel.
Kapitra pun menjawab lagi dengan pelaksanaan hukuman mati berkali-kali tak masalah jika konstruksi hukumnya memungkinkan. Namun, jangan sampai menegakkan hukum dengan justru melanggar.
"Karena konstruksi hukum itu sudah diatur oleh pembuat Undang-Undang. Mana yang bisa diperlakukan pasal 2 itu mana yang tidak," jelas Kapitra.
Saat Kapitra masih bicara, Immanuel berupaya memotong penjelasannya.
"Enggak, pelanggarannya di mana coba kasih tahu?" ujar Immanuel.
"Bang Kapitra, pelanggarannya di mana?" tanya lagi Immanuel.
"Saya coba jelaskan," jawab Kapitra.
"Orang ini jelas-jelas korupsi melakukan pelanggaran berat," ujar Immanuel.
Kapitra menjelaskan dalam melihat konstruksi hukum harus jelas. Jangan pakai emosi sehingga hukum akan kehilangan kepastian.
Dia mengatakan dalam konstruksi hukum terhadap Juliari itu kategori penyalahgunaan kekuasaan dengan melibatkan pihak swasta. Kata dia, hal ini bukan termasuk konstruksi pasal 2 yang merugikan keuangan negara.
"Yang disebut pasal dua itu apabila itu merugikan keuangan negara. Dua, itu tidak merugikan keuangan negara tapi penyalahgunaan kekuasaan," ujar Kapitra. [viva]