Oleh:M. Rizal Fadillah
PENGUMUMAN enam Menteri usai, meski ada sedikit keraguan soal Menteri Agama keliru atau tidak, Yaqut atau Staquf, karena keduanya sama Khalil.
Soalnya, awal yang ramai adalah nama Yahya Khalil Staquf, tetapi kemudian yang diumumkan dan dilantik keesokan harinya justru Yaqut Khalil Qoumas, sang adik.
Di tengah komentar dan kritik keras terhadap kepatutan Yaqut untuk menjadi Menteri Agama, juga Sandiaga Uno "paket pilpres" Prabowo yang dinilai "ambruk dua-duanya", serta Budi Gunadi Sadikin alumni ITB yang bukan dokter namun memimpin Kementerian Kesehatan, maka satu figur yang dicanangkan menjadi Wakil Menteri Pendidikan ternyata menolak untuk diangkat adalah Prof. Abdul Muti.
Sekum PP Muhammadiyah itu beralasan akan ketidakmampuan untuk mengemban amanah sebagai Wamen. "Berdasarkan pertimbangan yang matang," ujarnya.
Abdul Muti menjadi satu-satunya kandidat yang tidak bersedia dilantik. Berbeda dengan Uno yang awal tak bersedia namun akhirnya bersedia.
Pilihan Mas Muti tentu disikapi beragam, namun warga Muhammadiyah dapat menilai bahwa sikap ketidaksediaan untuk menjadi Wakil Menteri itu sangat dipahami dan patut diapresiasi.
Dua hal penting yang mendasarinya, yaitu:
Pertama, sebagai Wamen ruang gerak untuk mengambil kebijakan sangat terbatas. Bukankah Presiden pernah menyatakan bahwa tidak ada visi Menteri yang ada adalah visi Presiden.
Nah visi Menteri saja tak ada apalagi visi Wakil Menteri. Menteri dan Wakil Menteri yang bekerja tanpa visi adalah mesin, boneka, atau robot.
Kedua, dalam budaya kepemimpinan di Muhammadiyah "kolektif kolegial" artinya kerja bersama yang diutamakan. Semua elemen harus saling mendukung dengan tingkat keterbukaan dan kejujuran yang tinggi.
Kabinet Jokowi kini sudah terbaca oleh publik berjalan sendiri-sendiri dan tanpa visi yang jelas. Presiden tak memiliki kemampuan sebagai dirijen yang mumpuni.
Mas Muti yang masuk di pertengahan jalan akan berat untuk dapat berselancar mengarungi dua kondisi atau kultur di atas. Karenanya dengan bahasa halus ia menyatakan "tidak memiliki kemampuan untuk mengemban amanah sebagai Wamen" meskipun sebenarnya semua orang tahu bahwa "pendidikan" adalah bidang yang sangat dikuasai dan menjadi keahlian dirinya.
Pemerintahan Jokowi kini sedang rapuh karena menghadapi banyak masalah yang tidak pernah tuntas. Korupsi di lingkaran Istana terus terkuak, penanganan pandemi Covid 19 tidak konsisten, pembuatan aturan hukum dipaksakan, kepentingan asing diutamakan, hutang luar negeri terus digali, serta pelanggaran HAM yang dilakukan dengan kasat mata.
Kurva pengelolaan negara tidak sedang menaik, justru menurun dengan tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah. Mengatasi aspirasi yang berbeda kurang akomodatif dan dialogis. Respresivitas tinggi dan terkesan kehilangan rasa malu.
Mas Muti sudah tepat bersikap. Menolak jabatan adalah "counter culture" yang konstruktif untuk pembangunan karakter bangsa ke depan. Padanannya adalah budaya siap mundur jika gagal. Hal demikian merupakan barang langka di era kehidupan sosial politik yang hedonis dan pragmatis.
Selamat dan mantap Mas Muti. Matahari memiliki cahaya sendiri. Jabatan Wakil Menteri atau Menteri sekalipun harus didasarkan pada keyakinan. Perwujudan dari iman dan amal shaleh. Menjadi agenda untuk mengajak kebenaran dan mencegah kemungkaran.
Penolakan jabatan adalah bagian dari mencegah kemungkaran itu.
(Pemerhati politik dan kebangsaan.)