GELORA.CO - Masih menjadi pertanyaan kenapa Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin tidak ikut diciduk meski berada dalam satu rombongan dengan Meteri KKP Edhy Prabowo saat KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Bandara Soekarno-Hatta sepulang dari Amerika Serikat.
Mantan staf di Kantor Staf Presiden (KSP), Bambang "Beathor" Suryadi curiga, Ali Ngabalin punya hubungan istimewa dengan penyidik senior KPK Novel Baswedan yang memimpin OTT tersebut.
"Lantas, siapa 'orang KPK' yang ikut dalam rombongan Menteri KKP ke Amerika, kalo bukan Ngabalin?" kata Beathor Suryadi kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (2/12).
"Coba telisik, perkawanan Ngabalin ke Novel Baswedan..." sambung mantan anggota DPR RI dari PDI Perjuangan itu.
Beathor Suryadi bertanya-tanya kenapa tim penyidik KPK sudah menunggu di bandara, dan tahu bahwa Edhy Prabowo dan istri belanja barang berharga di AS.
"Kenapa tim KPK jam tengah malam sudah di bandara, tentu setelah Pak Menteri Edhy selesai melakukan belanja barang-barang yang kemudian jadi bukti korupsi," terang Beathor Suryadi yang dikenal sebagai murid almarhum Taufiq Kiemas.
"Ini bukan masalah ekspor benur-nya. Baca yang teliti. Ini masalah OTT. Bagaimana KPK punya barang bukti awal, yaitu barang-barang hasil belanja di Hawaii," lanjut dia.
Menurut Beathor Suryadi, Ali Ngabalin yang ikut dalam rombongan dan karena yang bersangkutan juga sebagai pembina Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kelautan dan Perikanan di KKP.
"Info akuratnya ya dari Ngabalin yang ikut melihat belanja tersebut. Tanpa barang bukti, bagaimana KPK mau lakukan OTT?" tandasnya.
KPK menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus suap terkait perizinan tambak, usaha, dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020.
Yaitu, Edhy Prabowo sebagai Menteri KKP; Safri sebagai Stafsus Menteri KKP; Andreau Pribadi Misanta sebagai Stafsus Menteri KKP; Siswadi sebagai Pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK); Ainul Faqih sebagai Staf istri Menteri KKP; Amiril Mukminin; dan Suharjito sebagai Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP).
Edhy, Safri, Siswadi, Ainul, Andreau, dan Amiril selaku tersangka penerima suap disangka melanggar melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan, Suharjito selaku tersangka pemberi suap disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Ali Ngabalin sendiri tidak ikut ditangkap karena dianggap tidak ikut terlibat.
Dalam berbincang dengan wartawan senior, Karni Ilyas dalam tayangan video pada kanal Karni Ilyas Club yang diyangkan 30 November 2020, penyidik senior KPK, Novel Baswedan membeberkan alasannya tidak turut membawa Ngabalin untuk diperiksa.
"Memang setiap proses upaya penangkapan atau tertangkap tangan, yang akan dilakukan untuk diamankan untuk diperiksa atau dilakukan penangkapan dalam hal tertangkap tangan itu adalah orang yang diduga sebagai pelaku, dengan syarat-syarat tertentu," ujar Novel Baswedan.
Pihak yang turut dibawa saat penangkapan merupakan orang yang diperlukan keterangannya sebagai saksi untuk menjelaskan peristiwa dugaan korupsi.
"Selain itu, tentu tidak (ikut dibawa), siapapun dia. Bukan karena beliau adalah pejabat atau apapun, bukan, tapi karena kepentingannya diperlukan apa tidak," kata Novel Baswedan.
Terkait peran Ali Ngabalin, Karni Ilyas pun merasa heran karena politisi Partai Golkar itu memisahkan diri pada saat petugas KPK menangkap Edhy Prabowo.
Namun, Novel Baswedan tidak mau memberi tanggapan dan menyerahkan untuk bertanya kepada Humas KPK.
"Saya kira itu nanti Humas KPK yang bicara, saya tak bisa wakili itu Pak Karni," jelasnya.(RMOL)