Oleh:Gde Siriana Yusuf
TERKAIT dua Menterinya telah ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus korupsi, Presiden Jokowi tidak cukup hanya menunjukkan kemarahan atau menjelaskan kepada publik bahwa dia sudah peringatkan para menterinya agar tidak melakukan korupsi.
Bagaimanapun juga, Menteri adalah pembantu Presiden. Ada tanggung jawab moral dan sistemik bahwa korupsi yang terjadi adalah bagian dari kinerja pemerintahan Jokowi.
Sebagai contoh, Menteri Negara Ekonomi & Kebijakan Fiskal Jepang di era Shinzo Abe, Akira Amari, mundur dari kabinet karena stafnya korupsi.
Presiden Jokowi harus paham bahwa selama reformasi, mekanisme pencegahan internal (termasuk peringatannya kepada para menteri) tidak akan efektif menekan kasus korupsi.
Selain itu, kasus korupsi jangan dilihat sebagai "permainan" individu. Korupsi selama ini tak pernah hilang karena sistem yang ada tidak mampu lagi untuk mengendalikannya.
Imun sistem sudah tidak kuat melawan infeksi korupsi. Seorang Menteri, apalagi juga sebagai kader Parpol, tentunya sudah atau mudah mendapatkan dukungan atau perlindungan dari individu elite parpolnya agar aman tak tersentuh ketika melakukan korupsi.
Tapi yang tampak sekarang ini situasinya, baik Presiden maupun Partainya, seperti seorang bapak yang ngomelin anaknya di depan tetangga yang barang di rumahnya dicuri anaknya.
Apakah cukup dengan sikap seperti itu? Semua lepas tangan dari tanggung jawab moral dan sistemik atas perbuatan korupsi anak buah atau kader.
Tindakan-tindakan KPK dalam OTT atau penetapan tersangka adalah independen & bebas dari intervensi kekuasaan. KPK tidak dapat dikendalikan pemerintah atau DPR.
Bagaimanapun juga publik melihatnya bahwa para pembantu Jokowi lah yang menjadi target KPK. Yang terlihat jelas oleh publik bahwa yang korupsi itu adalah eksekutif, Menteri yang pembantunya Presiden, juga berasal dari Parpol.
Jadi penangkapan dan penetapan status tersangka pada 2 menteri Jokowi bukan prestasi pemerintahan jokowi. Bravo KPK.
(Direktur Indonesia Future Studies (INFUS)