Habib Rizieq, Tragedi Priok, dan Ketimpangan

Habib Rizieq, Tragedi Priok, dan Ketimpangan

Gelora News
facebook twitter whatsapp



Oleh Abdullah Sammy, Jurnalis Republika

Politik adalah seni mencari masalah, mendiagnosisnya secara salah dan memberi obat yang salah. Begitu kata penulis kenamaan Inggris di awal abad ke-20, Sir Ernest Benn.

Sejarah mencatat bagaimana pernyataan itu terbukti empiris. Kesalahan pemimpin besar Cina Mao Zedong menjadi contoh. Mao memang merupakan tokoh besar dalam perpolitikan Cina. Namun ketika dia menggunakan pendekatan politik dalam mengatasi persoalan pertanian, maka yang terjadi adalah bencana. Pada 1958, Mao menggulirkan kampanye pembasmian empat hama yang salah satunya adalah burung gereja. Walhasil ratusan juta burung gereja diburu rakyat Cina. 

Kebijakan Mao membasmi burung gereja ternyata keliru besar. Hilangnya burung gereja malah membuat populasi hama serangga meledak. Nyatanya, efek hama serangga yang selama ini menjadi santapan burung gereja, jauh lebih dahsyat. Akibat dari kebijakan membasmi burung gereja, Cina dilanda gagal panen besar. Sekitar 15 hingga 46 juta rakyat pun mati kelaparan. 

Apa yang terjadi di Cina menjadi contoh bagaimana pendekatan politik negara yang salah mendiagnosis permasalahan.Negara kerap salah mendiagnosis permasalahan yang terjadi di akar rumput. Padahal diagnosis masalah adalah hal yang amat penting dalam mengobati persoalan. 

Dalam ilmu kesehatan, seorang dokter dituntut bisa untuk mendiagnosis penyakit dari penelusuran gejala-gejala yang timbul. Dengan diagnosis yang tepat, obat yang diberikan pun akurat. Sehingga penyakit bisa cepat sembuh.

Sebagai contoh, seorang yang menderita penyakit asam lambung biasanya menderita gejala seperti sulit  bernapas. Jika obat yang diberikan adalah obat untuk membantu pernapasan, praktis hal itu hanya sekadar meringankan gejalanya saja. Namun penyakit utamanya, asam lambung, belum tertangani. 

Inilah analogi yang kerap terjadi di negeri ini. Terkadang, pemangku negara hanya mengatasi gejala permasalahan, namun inti persoalan tak pernah diselesaikan. Polemik terkait Habib Rizieq Shihab (HRS) bisa kita bedah dari pertanyaan, apakah pentolan FPI itu adalah masalah utama atau sekadar gejala dari persoalan utama? 

Rasanya bukan kali ini saja Indonesia berurusan dengan sosok seperti HRS bersama FPI-nya. Pada tahun 1984, di Jakarta pernah ada ulama bernama Abdul Qadir Djaelani dengan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Ada pula sosok Amir Biki yang punya kemampuan menggerakkan umat. Keduanya cukup keras saat berorasi. Terkadang hujatan mereka layangkan pada aparat dan pemerintahan. Puncaknya pada 12 September 1984, gerakan massa pimpinan Amir Biki diberondong tembakan tentara yang menyebabkan belasan orang tewas. Peristiwa itu kemudian dikenang sebagai tragedi Tanjung Priok. 

Sosok Amir Biki, Abdul Qadir Djaelani, dan kini HRS sejatinya hanya sekadar gejala yang timbul dari persoalan. Persoalan utama itu adalah umat yang selama ini masih teralienasi secara pendidikan, politik, maupun perekonomian. Inklusivitas tak dirasakan mayoritas masyrakyat Indonesia yang kebetulan mayoritas beragama Islam. 

Sebelum pecahnya kasus Tanjung Priok, posisi kelompok Islam dalam perpolitikan nasional memang terpinggirkan. Kebijakan Orde Baru melakukan depolitisasi pasca-peristiwa Malari menyasar pula pada gerakan politik dan budaya keislaman. Depolitisasi  mengarahkan pemuda lebih ke sisi budaya populer yang bersifat konsumtif. Di sisi lain budaya Islam, seperti berhijab, dihambat Orde Baru. Disparitas semakin terasa karena sedikitnya afiliasi kelompok Islam itu dalam ring utama pemerintahan Soeharto.

Suara kritik yang saat itu mulai muncul kepada Orde Baru pun disikapi secara represif. Soeharto bahkan menyatakan yang berseberangan dengan pemerintah adalah musuh. "Yang mengkritik saya berarti mengkritik Pancasila," begitu salah satu penggalan pidato Soeharto pada HUT Kopassandha, 16 April 1980. Walhasil muncul semacam kesan warga kelas dunia di kalangan kelompok Islam.

Dalam situasi seperti ini, suara vokal tokoh Islam cepat mendapat atensi masyarakat. Walhasil pada periode ini bermunculan tokoh seperti AM Fatwa, Mawardi Noor, dan Oesmany Al Hamidy. Pun halnya populisme tokoh umat yang cukup keras seperti Abdul Qadir Djaelani dan Amir Biki. Semua mengisi ruang kosong yang ditinggalkan negara. 

Kala itu, umat merasa diperlakukan tidak adil oleh negara. Perasaan itu yang kemudian terwakilkan oleh suara-suara tokoh Islam yang cukup vokal. Penahanan Abdul Qadir Djaelani dan pembunuhan terhadap Amir Biki nyatanya tak menyelesaikan persoalan. Sebaliknya peristiwa Tanjung Priok justru menambah permasalahan baru.

Orde Baru mulai menyadari permasalahan utama adalah jarak mereka dengan kelompok Islam yang selama ini merasa warga kelas dua. Hal yang coba diperbaiki pada awal 1990-an. Namun semua sudah terlambat. Masalah negara dengan kelompok Islam sejatinya masih sama hingga kini. Sejumlah kelompok Islam masih merasa berjarak, baik secara ekonomi, politik, dan keadilan. Mereka yang merasa berjarak dan diperlakukan tidak adil, akhirnya merasa terwakili oleh narasi yang dibawa HRS. HRS mampu mencuri ruang yang ditinggalkan negara di hati masyarakat yang merasa menjadi warga kelas dua. 

Jarak antara kelompok Islam dan ceruk perekonomian, politik, dan keadilan dinilai merupakan warisan dari sistem politik era kolonial. Robinson (1986) menilai perekonomian Indonesia sejak era kolonial telah diklaster. Akumulasi kekuasaan hanya terkonsentrasi pada segelintir kelompok tertentu. Situasi yang terus bertahan hingga era Orde Baru. 

Inklusivitas politik dan ekonomi sejak awal tidak terbentuk di negeri ini. Akibatnya banyak kelompok Islam yang merasa terpinggirkan. Acemoglu dan Robinson (2012) mengatakan, selama sistem politik dan ekonomi yang dibangun sebuah negara bersifat estraktif/tidak inklusif maka negara itu akan berujung pada kegagalan. Sebagai contoh Amerika Latin yang kaya sumber daya alam nyatanya jauh lebih terbelakang dari benua Amerika di Utara (Kanada dan AS) yang SDA-nya justru terbatas. Sebab AS dan Kanada lebih inklusif dibandingkan Latin yang ekstraktif yang mana ekonominya lebih terpusat kepada segelintir elit. 
 
Melihat fakta itu jangan heran jika kemudian kelompok Islam terpinggirkan. Sebab secara kualitas, harus diakui pendidikan kelompok Islam masih tertinggal. 

Walhasil tesis Acemoglu dan Robinson (2012) menunjukkan bahwa semakin tidak inklusif (ekstraktif) sebuah negara maka akan semakin rawan konflik. Semakin tidak inklusif, negara semakin menuju kepada kegagalan. Ini sesuai dengan judul buku yang ditulis Acemoglu dan Robinson, Why Nation Fail.  

Inklusivitas pada kelompok Islam inilah yang menjadi persoalan sejak era kolonial. Lantas bagaimana mencari obat dari masalah inklusivitas ini? Rasanya untuk menjawab pertanyaan ini bisa dikaji dari dua sisi, yakni political will dari pemerintah dan komitmen kelompok Islam sendiri.  

Kelompok Islam perlu serius dalam berkontemplasi. Apa yang disampaikan Robinson (1986) terkait warisan penumpukan modal dan kekuasaan politik pada kelompok tertentu tak bisa menjadi alasan utama. Apalagi jika kemudian kelompok Islam mengarahkan sentimennya pada etnis tertentu. Memang dalam pandangannya Robinson sempat menyinggung soal etnis tertentu yang sejak era kolonial mendapat tempat khusus. Hal yang menurut Robinson semakin menjadi di era Orde Baru. 

Namun mengutip artikel yang ditulis Chatib Basri (1994) nyatanya pasangan Robinson tak sepenuhnya tepat. Sebaliknya kalangan etnis tertentu itu justru kerap mendapatkan kerugian, seperti dalam kasus monopoli cengkeh di era Orde Baru. Munculnya sejumlah pengusaha etnis tertentu di era Orde Baru dinilai tidak mewakili faktor ras, melainkan sekadar kedekatan person to person. 

Sebaliknya, dalam situasi serba tertekan, etnis tertentu yang minoritas justru mampu bekerja dan berusaha jauh lebih ulet. Jadi tak seharusnya kelompok Islam menebar sentimen kepada kalangan yang memang teruji telah bekerja dan berusaha lebih keras. Di sisi lain, sisi keseriusan umat Islam dalam berusaha mengubah situasi warisan kolonial ini masih sangat dangkal. 

Kita melihat fakta tersebut dengan merujuk kualitas manusia yang tergambar dari kualitas pendidikan. Merujuk daftar sekolah terbaik di Indonesia, kita bisa melihat kualitas sekolah Islam jauh tertinggal dari sekolah umum dan non-Islam. Merujuk data Kemendikbud tahun 2019, dari daftar 20 sekolah terbaik di Indonesia, 13 di antaranya adalah sekolah non-Islam. Hanya ada dua madrasah yang masuk 20 besar. Sisanya hanya ada lima sekolah negeri yang masuk daftar sekolah terbaik.

Melihat fakta itu jangan heran jika kemudian kelompok Islam terpinggirkan. Sebab secara kualitas, harus diakui pendidikan kelompok Islam masih tertinggal. Situasi ini yang hendaknya menjadi atensi serius seluruh ormas Islam maupun pemerintah. Ormas Islam harus lebih serius dalam merespons persoalan terkait peningkatan kualitas pendidikan. Jangan justru lebih larut pada kepentingan jangka pendek, seperti politik.

Di sisi lain, sudah semestinya pemerintah memprioritaskan peningkatan mutu pendidikan kepada kelompok yang selama ini terpinggirkan. Jadi sangat masuk akal pula ketika ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah sangat kecewa ketika dana hibah pemerintah justru dialokasikan kepada organisasi kapital besar. 

Langkah Muhammadiyah dan NU itulah bersuara soal anggaran pendidikan inilah yang sejatinya memperjuangkan kepentingan besar kelompok Islam. Perjuangan yang jauh lebih krusial ketimbang berteriak-teriak soal politik praktis. Sebab politik tak ada artinya tanpa penguasaan ekonomi. Kualitas ekonomi tak akan tercipta dengan kualitas pendidikan yang pas-pasan.Jadi memperjuangkan pendidikan adalah kunci memecah masalah inklusivitas. 

Naiknya mutu pendidikan umat Islam sama dengan menaikkan mutu pendidikan Indonesia secara umum. Menaikkan tingkat pendidikan juga memperbesar inklusivitas ekonomi. Jika inklusivitas tercipta maka masalah utama sebuah negara akan tepecahkan. 

Namun tak hanya pendidikan yang perlu dibenahi. Secara jangka pendek pemerintah harus serius dalam menata hubungan antarwarga negara. Ini untuk memupus kesan bahwa kelompok Islam adalah warga kelas dua. Sebagai contoh bagaimana hukum yang harus adil diterapkan tak hanya pada kelompok Islam tertentu, melainkan pada semua. 

Selain faktor keadilan, di sisi politik pun sejumlah kelompok Islam masih merasakan jarak. Sekalipun Jokowi memilih wapres saat ini dari kalangan ulama, namun secara umum sejumlah ormas masih merasa kurang dirangkul di pemerintahan. Bahkan ormas seperti Muhammadiyah, NU, dan lainnya merasa hanya dirangkul pemerintah ketika perlu saja. Kontribusi ormas Islam secara politik kebangsaan masih kurang mendapat atensi pemerintah. 

Walhasil, mengatasi masalah tak akan berakhir dengan sekadar memenjarakan HRS. Karena fenomena HRS hanya sekadar gejala dari sebuah persoalan yang lebih besar dan kompleks. Sebab jika hanya sekadar mengatasi HRS atau FPI, niscaya akan muncul lagi tokoh atau organisasi berbeda dengan narasi yang mungkin sama.

Karena persoalan sesungguhnya adalah jarak kelompok Islam atas pendidikan, ekonomi, kekuasaan, serta keadilan yang layak. Seperti isi sila terakhir dalam Pancasila yang memang masih menjadi PR besar bangsa ini sejak pertama kali berdiri, "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." 

Pada akhirnya menjadi omong kosong menarasikan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, atau kerakyatan jika minus keadilan. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita