GELORA.CO - Pembantaian sadis terhadap sekeluarga di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng) oleh kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora meninggalkan duka mendalam bagi keluarga korban yang selamat. Suasana mencekam saat pembantaian sempat dirasakan langsung oleh warga yang berhasil melarikan diri.
Pagi itu, Jumat (27/11), di rumahnya di Desa Lembatongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulteng, Yasa dan keluarganya tengah bersiap untuk melakukan aktivitas berkebun seperti biasanya. Namun pada sekitar pukul 08.00 Wita seketika datang sekelompok teroris pimpinan Ali Kalora ke rumah Yasa. Mereka langsung masuk ke rumah Yasa melalui pintu belakang.
Anak dari Yasa, yang namanya kemudian disamarkan dengan sebutan Bunga mengungkapkan, kelompok Ali Kalora langsung menyeret ayahnya keluar rumah sesaat setelah masuk dari pintu belakang.
"Dia (kelompok Ali Kalora) pegang parang di situ," kata Bunga dalam keterangannya melalui video yang diterima detikcom, Senin (30/11/2020).
Saat ayahnya diseret keluar rumah, suami Bunga masih berada dalam mandi. Mendengar suara ribut-ribut di dalam rumah, suami Bunga lantas keluar kamar mandi dan langsung mencari mertuanya, atau ayah Bunga yang sudah diseret keluar oleh kelompok Ali Kalora.
"Dia bilang suamiku mana bapak tadi? mana bapak tadi?," ujar Bunga.
Melihat mertuanya sudah berada di luar rumah dan dikelilingi kelompok Ali Kalora, suami Bunga langsung keluar untuk menolong mertuanya. Namun kelompok Ali Kalora yang jumlahnya lebih banyak membentak suami Bunga dan memintanya untuk duduk jongkok bersama mertuanya.
"Pas suamiku mau berdiri begini kan, langsung dia suruh begini (duduk jongkok)," kata Bunga.
Saat suami dan ayahnya dikelilingi kelompok MIT dan diintimidasi, Bunga bersama saudara dan anaknya tengah bersembunyi di salah satu sudut rumah. Seketika dia melihat kelompok MIT memegang kepala ayah dan suaminya dan mendorongnya seperti bersujud ke tanah.
"Saya lihat bapakku itu mereka pegang sininya (leher bagian belakang) terus didorong kepalanya dari belakang ke bawah," tuturnya.
Bunga yang menyaksikan ayah dan suaminya diperlakukan dengan tidak wajar lantas langsung berteriak. Dia tidak sadar kalau tengah bersembunyi bersama saudaranya.
"Saya langsung berteriak, itu bapakku mau diapakan, itu bapakku mau diapakan?," ungkapnya.
Namun kelompok MIT tidak menggubris teriakan Bunga. Usai mengarahkan kepala suami dan ayah bunga ke tanah, mereka langsung melakukan pembantaian dengan sadis.
"Mereka langsung kasih begini bapakku itu (gerek lehernya dari depan). Sudah itu langsung mereka cincang-cincang belakangnya," paparnya
"Hanya itu yang saya tahu, baru itu kami lari dengan anakku sudah," lanjutnya.
Bunga yang sadar keberadaannya bersama saudara dan anaknya di tempat persembunyian diketahui kelompok Ali Kalora langsung melarikan diri keluar rumah. Namun, ibunya yang ternyata bersembunyi di tempat lain saat pembantaian terjadi langsung keluar persembunyian dan menuju ke kelompok Ali Kalora saat melihat suaminya dibantai.
"Kami lari dengan anakku, mamaku itu sempat saya lihat, pas mamaku pergi (ke tempat ayah dibantai), saya mau tarik (supaya tidak pergi), tapi tidak bisa, saya melihat mereka sudah menarik mama saya. Akhirnya saya sama adik saya sama anak saya langsung lari, di mana jalan terserah kita saja," kenangnya.
Bunga bersama saudaranya yang sudah dewasa dengan panik langsung menggendong anak dan adiknya yang masih kecil. Dengan memikul anak kecil dan tanpa menggunakan sandal, mereka lari menerobos semak belukar dan hutan agar tidak terlihat kelompok Ali Kalora.
"Digendong lari ke hutan (anak-anak yang masih kecil), bukan digendong sarung, cuma dipikul begini," kata Bunga sembari mencontohkan dia dan saudaranya saat itu yang menggendong anak kecil.
"Saya punya adik yang terakhir itu masih anak kecil belum sampai umur 1 tahun, dibawa lari ke hutan sampai kami di jembatan hitam, selamat sudah," paparnya.
Dalam pelariannya menuju hutan, Bunga sempat bertemu sejumlah warga yang hendak berangkat berkebun ke arah rumahnya. Dia lalu meminta warga tersebut untuk ikut melarikan diri bersamanya karena teroris sudah membantai ayah dan suaminya.
Awalnya para petani itu tidak percaya, tapi dengan tergesa-gesa Bunga meyakinkan mereka jika ayah dan suaminya telah menjadi korban pembunuhan sadis teroris. Sejumlah petani itu kemudian percaya dan ikut melarikan diri ke hutan bersama Bunga.
Pelarian Bunga dan warga di tengah hutan sempat terhenti. Sebab, perjalanan mereka yang mengikuti arus sungai terhenti oleh jurang yang dalam.
"Sampai ketemu ada air pancuran, air terjun, kami lihat jalan ke kiri-kanan tidak ada, sampai berpikir; 'sudah didapat kami nanti ini sama teroris'," tuturnya.
Dengan panik, Bunga dan sejumlah warga kemudian nekat turun ke jurang tempat air terjun tersebut. Satu persatu adik dan anaknya yang masih belia dibawa turun ke dasar jurang.
"Saya punya anak itu saya kasih turun saya kasih selamat satu persatu dari jurang," imbuhnya.
Dari dasar jurang, Bunga dan warga kembali menyusuri arus sungai. Hingga akhirnya setelah berjalan sekitar 3 jam lamanya mereka menemui jalan raya dan area persawahan. Bunga pun selamat dari peristiwa pembantaian sadis itu, sementara ibunya yang ikut disekap di lokasi pembantaian tidak dibunuh oleh kelompok MIT. Bunga bersyukur ibunya kini masih hidup dan kembali bersamanya.(dtk)