GELORA.CO - Sebelum hari pemilihan umum di Amerika Serikat, ada dua pertanyaan mengenai reaksi Presiden Donald Trump seandainya ia kalah.
Pertanyaan pertama, apakah Trump akan menerima kemenangan pesaingnya dari Partai Demokrat, Joe Biden.
Kita sudah tahu jawabannya: Trump sejauh ini menolak untuk mengakui kemenangan Biden yang diproyeksikan sejak hari Sabtu (07/11) dan berkukuh bahwa telah terjadi kecurangan pemilu, tanpa menunjukkan bukti.
Pertanyaan kedua yang relevan ialah apakah sang presiden akan menggunakan kekuasaannya untuk menghindari pengakuan atas kemenangan Biden.
Dalam pertarungannya untuk hasil Pilpres, Trump juga mendapat dukungan dari tokoh-tokoh terkemuka di Partai Republik, di mana kebanyakan senatornya juga belum memberi selamat kepada Biden.
Beberapa pakar memperingatkan bahwa skenario saat ini memperbesar risiko perselisihan yang tidak biasa di AS terkait peralihan kekuasaan.
"Akan ke mana ujungnya ini? Tidak ada yang tahu. Pada akhirnya, ini akan bergantung pada rekan-rekan Partai Republik untuk menekan (Trump) untuk mundur. Jika tidak, ia bisa menciptakan krisis konstitusional," kata Joshua Sandman, profesor ilmu politik dan pakar kepresidenan AS di Universitas New Haven, kepada BBC Mundo.
Joe Biden
"Memalukan"
Pada hari Selasa (10/11) Biden menyebut sikap Trump sejak pemilihan "memalukan", namun berkata timnya tetap melakukan proses transisi.
Proyeksi kemenangan Biden mencerminkan kenyataan bahwa sang politikus Demokrat - berdasarkan penghitungan sejauh ini - mendapatkan lebih dari 270 delegasi (suara elektoral) di Electoral College, yang pada 14 Desember akan menetapkan presiden AS berikutnya.
Meskipun berbagai media memproyeksikan hal ini dan bahwa para pemimpin negara di seluruh dunia telah memberi selamat kepada Biden atas kemenangannya, Trump memutuskan untuk menggugat hasil tersebut di pengadilan.
Jaksa Agung AS William Barr pada hari Senin (09/11) mengizinkan kuasa hukum Departemen Kehakiman untuk menginvestigasi tuduhan, apakah tuduhan-tuduhan itu "jelas", "tampak kredibel" dan dapat memengaruhi hasil pemilihan di negara bagian mana pun.
Penghitungan suara pemilu AS.
Tim kampanye Trump belum menunjukkan bukti kecurangan yang mereka tuduhkan. (Getty Images)
Hal ini menarik perhatian tidak hanya karena Trump dan timnya belum menunjukkan adanya bukti kecurangan, tetapi juga karena secara tradisional negara bagian yang memantau pemilihan, tanpa campur tangan dari pemerintah federal.
Bahkan, keputusan Jaksa Agung Barr mengakibatkan pengunduran diri pejabat tinggi yang mengawasi penyelidikan itu, Richard Pilger.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo juga menarik perhatian banyak kalangan karena pada hari Selasa (10/11) dia memprediksi "transisi yang mulus ke masa jabatan kedua Trump," tanpa mengklarifikasi apakah pernyataan itu serius atau tidak.
Di sisi lain, anggota tim transisi Biden melaporkan bahwa akses mereka ke fasilitas pemerintah federal terhambat oleh pejabat yang ditunjuk Trump, Emily Murphy.
Murphy mengepalai General Services Administration, Badan Layanan Umum, yang secara resmi berkewajiban memungkinkan dimulainya transisi namun sejauh ini menolak melakukannya di tengah upaya Trump mengajukan gugatan hukum atas hasil pemilu.
Anggota tim Biden mengindikasikan bahwa langkah ini menyulitkan mereka bahkan untuk menerima telepon dari pemimpin negara asing, langkah yang diorganisir oleh Kementerian Luar Negeri. Tim Biden mempertimbangkan untuk melakukan tindakan hukum terkait kesulitan ini.
Selain itu, Gedung Putih juga telah menginstruksikan lembaga federal untuk terus mempersiapkan anggaran pemerintah untuk tahun fiskal berikutnya pada bulan Februari, meskipun masa jabatan Trump berakhir pada 20 Januari, lansir surat kabar The Washington Post.
"Tidak ada dalam ingatan saya atau dalam pengetahuan saya institusi AS yang melakukan perilaku semacam ini," kata Lynn Ross, profesor kebijakan publik di Universitas Georgetown di Washington yang menghabiskan waktu bertahun-tahun di pemerintahan, termasuk di Kantor Eksekutif Presiden dan Kantor Manajemen dan Anggaran.
Pendukung pro Trump
Tuduhan kecurangan yang dilontarkan Trump menyebabkan protes di sejumlah tempat. (Getty Images)
"Sampai mereka menunjukkan atau memberikan bukti kredibel yang menunjukkan adanya masalah dengan pemilu ini (...) ini tetap hanya semacam dugaan dan perubahan yang dipaksakan presiden yang menjabat pada sistem kami," kata Ross kepada BBC Mundo .
Faktor Partai Republik
Perilaku Trump setelah pemilu kembali menunjukkan pengaruh besarnya terhadap Partai Republik, yang telah lama menjadi semacam lengan politik sang presiden.
Berbagai tokoh Republik telah mengikuti langkah Trump menolak mengakui Biden sebagai presiden terpilih.
Beberapa tokoh mendukung sang presiden tanpa mendukung klaimnya tentang kecurangan, seperti pemimpin mayoritas Partai Republik di Senat, Mitch McConnell, yang membela Trump dengan mengatakan bahwa ia berhak mengajukan gugatan hukum atas hasil pemilu.
Hingga Selasa sore, hanya empat senator Republik yang memberi selamat kepada Biden atas kemenangannya, seperti yang dilakukan mantan Presiden George W. Bush pada hari Minggu.
Salah satu kritik terkuat dari politikus Republik terhadap Trump muncul pada hari Selasa (10/11) dari Gubernur Massachusetts Charlie Barker, yang mengatakan ia "terkejut mendengar klaim tidak berdasar dari presiden dan timnya serta banyak pejabat terpilih Partai Republik lainnya."
"Tindakan terakhir ini, mengerahkan Departemen Kehakiman, sangat tidak pantas," ujarnya.
Dukungan Partai Republik untuk Trump dikaitkan dengan berbagai alasan, seperti simpati atau ketakutan pada presiden yang berani menyerang para penentangnya di depan umum.
Ada juga perhitungan elektoral yang mencakup ketidakpastian mayoritas Senat berikutnya.
Ini mungkin bergantung pada pemilihan putaran kedua di Georgia untuk memperebutkan dua kursi di negara bagian itu pada 5 Januari: jika Demokrat mempertahankannya, mereka akan memiliki mayoritas di kedua majelis.
Partai Republik tidak mau mengabaikan lebih dari 71 juta suara yang dimenangkan Trump di seluruh negeri, tetapi juga harus memutuskan apakah pada titik tertentu akan mendesak sang presiden untuk membatalkan gugatannya terhadap hasil pemilu, kata Sandman.
"Saat ini (Trump) tidak ingin melakukan itu, ia berusaha menciptakan situasi tempat ia dapat secara terbuka menantang hasilnya, menunggu untuk melihat apa yang akan dilakukan pengadilan," jelasnya.
"Jika pengadilan mendukung hasil itu (pemilu), ia tidak akan punya pilihan selain mundur."(dtk)