GELORA.CO - Perusahaan farmasi Amerika Serikat (AS), Pfizer Inc dan perusahaan Jerman, BioNTech SE, masih menjadi trending setelah vaksin mereka berhasil melawan virus corona.
Seperti diketahui, kandidat vaksin keduanya, BNT162b2 sukses menyita perhatian global lantaran terbukti 90 persen efektif melindungi relawan dari infeksi.
"Ini kemajuan medis terbesar dalam 100 tahun terakhir," ucap CEO Pfizer Albert Bourla pada Senin (9/11) lalu.
Di balik keriuhan berita kesuksesan uji klinis hingga lonjakan saham Pfizer atau BioNTech, ada dua ilmuwan yang menjadi otak penciptaan BNT162b2.
Siapakah mereka?
Mengutip CNN, dua ilmuwan itu bernama Ugur Sahin (55) dan Ozlem Tureci (53), pasangan ilmuwan Jerman-Turki yang berada di balik pengembangan BNT162b2.
Sebelum bergulat dengan pengembangan vaksin COVID-19, keduanya pun tercatat memiliki rekam jejak medis yang luar biasa.
Baik Sahin dan Tureci, keduanya telah mengabdikan hidup mereka pada bidang onkologi dan penyakit menular. Keduanya juga telah menghabiskan bertahun-tahun merintis perawatan imunoterapi yang dipersonalisasi untuk kanker.
Pada 2001, kedua dokter terlatih itu sempat mendirikan perusahaan bernama Ganymed Pharmaceuticals. Di perusahaan inilah, keduanya aktif mengembangkan antibodi pelawan kanker.
Mereka pun sukses menjajakan produk hingga pada tahun 2016, penjualan mencapai hingga USD1,4 miliar (Rp19,7 triliun).
Di tengah-tengah kesuksesa nnya dengan Ganymed Pharmaceuticals, Sahin dan Tureci mulai mendirikan BioNTech pada tahun 2008.
Menjadi pemimpin perusahaan farmasi ternama, Sahin dan Chief akhirnya ikut terdaftar di antara 100 orang terkaya di Jerman.
Pada hari Selasa (10/11) lalu saja, nilai pasar perusahaan mereka melonjak menjadi USD 25,72 miliar (Rp363 triliun). Angka itu merupakan lompatan besar dibanding USD 4,6 miliar (Rp64 triliun) pada tahun lalu.
Di tengah kekayaannya yang melimpah, mereka rupanya dikenal sangat 'membumi'. Terlebih, etos amal keduanya dalam akademisi dan sains dinilai tinggi.
Pada bulan Januari lalu misalnya, setelah membaca makalah ilmiah tentang virus corona di Wuhan, Sahin bergegas mengambil 'langkah kecil' dari obat mRNA antikanker menjadi vaksin virus berbasis mRNA.
Kemudian pada Mei, bersama dengan istrinya, Tureci, Sahin mengutarakan keinginan untuk 'menyumbangkan sesuatu pada masyarakat'.
Selain itu, Sahin juga digambarkan sebagai orang yang sederhana dan rendah hati oleh rekan-rekannya. Pendapat ini ikut diutarakan oleh Matthias Theobald, profesor onkologi dari Universitas Mainz.
"Terlepas dari pencapaiannya, dia tidak pernah berubah dari menjadi sangat rendah hati dan menarik," kata Matthias Kromayer yang juga seorang anggota dewan perusahaan modal ventura MIG AG yang secara finansial mendukung BioNTech.
Sementara dari riwayat hidupnya, Sahin diketahui lahir di Iskenderun, sebuah kota di pantai Mediterania Turki. Saat usianya 4 tahun, ayahnya harus pindah kerja ke pabrik Ford dan ia akhirnya ikut hijrah ke Cologne, Jerman.
Saat tengah memulai karier akademis, Sahin bertemu Tureci, putri seorang dokter Turki. Sama seperti Sahin, Tureci sendiri juga dikenal sebagai sosok yang sangat berhasrat dalam penelitian kanker.
Kini, setelah sukses mengembangkan BNT162b2, Sahin dan Tureci berharap bisa meneruskan kerja samanya dengan Pfizer hingga memproduksi 1,3 miliar dosis pada akhir tahun 2021.
Meski begitu, Sahin menegaskan bahwa vaksin BioNTech/Pfizernya 'tidak akan menjadi satu-satunya vaksin yang mampu melawan COVID-19'
"Saya pikir pesan yang baik bagi umat manusia adalah bahwa kita sekarang memahami bahwa infeksi COVID-19 memang dapat dicegah dengan vaksin," katanya.[]