GELORA.CO - Babak baru dugaan pelanggaran pembatasan akses internet di Papua dan Papua Barat pada tahun 2019.
Sebelumnya, Majelis hakim PTUN Jakarta menyatakan, Presiden dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) RI melanggar hukum karena melakukan pemblokiran layanan data untuk wilayah Papua dan Papua Barat pada 3 Juni 2020.
Kini kasus tersebut bergulir di Mahkamah Konstitusi. Hakim Konstitusi, Saldi Isra mempertanyakan, tahapan yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebelum memutuskan pemutusan internet dalam kasus di Papua dan Papua Barat pada 2019.
Awal kebijakan pemutusan internet
"Ketika kasus konkret yang di Papua itu, itu apa sih yang dilakukan oleh pemerintah sebelum memutuskan itu?"
"Bentuk ada selembar kertaslah. Misalnya, menyatakan bahwa ini harus, begitu?" kata Saldi Isra dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa, yang disiarkan secara daring.
Dia menyatakan, bukan untuk memeriksa kasus konkret pemutusan internet di Papua.
Namun, dia mengatakan, keterangan terkait dengan tahapan serta bentuk hukum sebelum Kominfo mengambil tindakan memblokir layanan internet penting untuk diketahui majelis hakim Mahkamah Konstitusi.
Sewenang-wenang
Akibat dari pemutusan internet itu, Hakim Konstitusi Aswanto menanyakan pertimbangan pemutusan akses atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik serta-merta yang dilakukan Kominfo tanpa memberikan ruang pengaduan oleh media yang diblokir.
"Apa juga yang menjadi pertimbangan sehingga tidak ada ruang bagi media yang telah diblokir untuk memperoleh hak dipulihkan namanya, gitu?" kata Aswanto.
Tanpa argumen yang berdasar, Pasal 40 Ayat (2b) Undang-Undang ITE yang dimohonkan untuk diuji itu dapat dianggap menyebabkan kesewenang-wenangan.
Atas nama undang-undang
Dalam kesempatan itu, wakil pemerintah, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan menjawab, pemerintah memiliki kewajiban untuk menjaga ruang digital agar kondusif dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Di mengatakan pemutusan akses internet atau pemblokiran konten, disebutnya semua dalam bentuk digital.
"Contohnya, ada permintaan untuk melakukan pemblokiran. Tim kami melakukan evaluasi apakah pelanggaran benar melanggar aturan yang mana. Kami melakukan yang namanya forensik," ujar Semuel.
Untuk lebih detail mengenai proses yang dilakukan sebelum tindakan pemutusan akses internet atau pemblokiran konten dilakukan.
Dia mengatakan, pihaknya akan menyampaikan dalam keterangan tertulis kepada majelis hakim Mahkamah Konstitusi.
AJI mohonkan uji materi
AJI bersama Pimpinan Redaksi Suara Papua Arnoldus Belau mengajukan permohonan pengujian uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik dan mengusulkan agar pemutusan akses internet dilakukan berdasarkan putusan pengadilan.
Sebelumnya, AJI menggugat pembatasan akses dan pemutusan internet yang di Papua ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.***