GELORA.CO - Kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) ke tanah air diprediksi bakal memengaruhi situasi politik dalam negeri. Pimpinan Ormas Front Pembela Islam (FPI) itu bakal menyatukan kekuatan oposisi. Akibatnya, tekanan terhadap kebijakan pemerintah akan semakin kuat. Pernyataan itu disampaikan pengamat Intelijen dan Keamanan Stanislaus Riyanta (5/11/2020).
Menurut dia, HRS merupakan figur sentral dan simbol oposisi di dalam negeri. Kekuatan oposisi akan mengerucut pada HRS.
"Figur oposisi akan mengerucut dan semakin kuat kepada HRS. Selama ini figur oposisi seperti Gatot Nurmantyo, Dien Samsuddin atau bahkan Anies Baswedan masih nampak belum cukup kuat. Jika benar HRS pulang ke Indonesia maka figur oposisi akan menguat," jawabnya saat ditanya soal dampak kepulangan HRS ke tanah air.
Dia menjelaskan, ada potensi menyantunya kekuatan kelompok Islam dan kelompok nasionalis yang tidak setuju dengan kebijakan Jokowi. Berpadunya dua kelompok itu akan memperbesar dukungan terhadap upaya menyeimbangkan perjalanan pemerintahan.
"Ya karena memang HRS basis massa ya dari kelompok kanan, dan jumlah massa yang berasal dari kelompok kanan cukup besar, selain itu juga bisa ada tambahan dari kelompok oposisi lainnya seperti kelompok nasionalis yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah," ujarnya .
Menurut dia, HRS sulit tergantikan oleh tiga figur oposisi itu. Sebab, baik Anies Baswedan, Gatot Nurmantyo dan Dien Syamsudin tidak memiliki partai politik. Selain itu, ketiganya terbilang figur baru simbol oposisi. Sementara, HRS telah memiliki basis massa cukup lama dan militan sejak lama.
"Semakin kuat oposisi semakin besar tekanan kepada pemerintah," ujarnya.
Meskipun menguatkan tekanan, pemerintah diminta untuk tidak menganggap hal itu sebagai hal negatif. Dia mengatakan, selama komunikasi politik pemerintahan terhadap masyarakat berjalan baik, oposisi justru menjadi kekuatan produktbagi pemerintah.
"Bagaimanapun kritik juga perlu bagi pemerintah. Dan harapannya pemerintah dan oposisi tetap harus berorientasi kepada tujuan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan kelompok atau golongan," katanya. (*)