GELORA.CO - Pernyataan Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin mengenai Peristiwa Semanggi I-II bukan pelanggaran hukum HAM berat berujung pada polemik. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memvonis ucapan Burhanuddin itu melawan hukum.
Menanggapi itu Kejaksaan Agung (Kejagung) memberikan perlawanan. Menurut Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Feri Wibisono mengatakan majelis hakim PTUN Jakarta yang memutus gugatan itu tidak menunjukkan bukti rekaman video rapat dengar pendapat antara Jaksa Agung dengan Komisi III DPR, sebab menurutnya pernyataan Jaksa Agung itu berdasar pada laporan khusus DPR RI tertanggal 28 Juni dan 9 Juli 2001.
"Dalam penyampaian di rekaman tersebut, Jaksa Agung terkait pelanggaran HAM berat masa lalu, salah satunya Semanggi I dan II didasarkan pada laporan khusus DPR RI tanggal 28 Juni 2001 dan 9 Juli 2001. Jaksa Agung menyampaikan ini sehingga penyembunyian fakta, kebohongan, itu tidak ada apabila pengadilan melihat kepada bukti rekaman itu, tapi PTUN Jakarta tidak mau melihat bukti rekaman itu," kata Feri dalam jumpa pers di Kompleks Kejagung, Jalan Bulungan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (5/11/2020).
Feri menilai pertimbangan hakim yang menilai pernyataan Jaksa Agung sebagai tindakan pemerintahan adalah cacat substansi. Pasalnya, Feri menilai hal itu didasarkan pada keyakinan hakim tanpa melihat bukti yang mendukung.
"PTUN Jakarta juga melanggar beberapa ketentuan yang diwajibkan dalam halaman 115 PTUN memberikan pertimbangan bahwa tindakan Jaksa Agung dikualifikasikan sebagai tindakan pemerintahan, ucapan di DPR adalah cacat substansi, karena pernyataan tersebut tidak sesuai dengan fakta sebenarnya, dalam menentukan terbukti atau tidak maka hakim berkewajiban menjelaskan peraturan mana yang dilanggar, karena memang tidak ada peraturan yang dilanggar. Hakim memformulasikan berdasarkan keyakinan saja, tanpa bukti yang memadai dan kemudian lalai, membuat pertimbangan yang benar berkaitan pelanggaran Jaksa Agung sehingga dikategorikan sebagai cacat substansi," ungkapnya.
Feri mengatakan Kejagung pun tengah menyiapkan langkah hukum. Dalam waktu dekat Kejagung akan mengajukan upaya banding.
"Melihat pada banyaknya kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh PTUN Jakarta dalam memeriksa dan mengadili perkara ini, banyaknya kewajiban pemeriksaan alat bukti yang tidak dilakukan oleh pengadilan PTUN dan banyaknya kesimpulan-kesimpulan yang dibuat tidak berdasarkan kepada alat bukti yang ada, maka kami mempersiapkan diri bahwa putusan ini adalah putusan yang tidak benar dan kami harus melakukan banding atas satu putusan yang tidak berdasarkan kepada hukum acara yang seharusnya dilakukan," kata Feri.
Feri menerangkan hakim PTUN telah mengabaikan alat bukti dari saksi ahli. Hakim pun, sebut Feri, tidak menilai keterangan ahli yang merupakan kewajibannya berkaitan dengan alat bukti.
PTUN Jakarta: Pernyataan Jaksa Agung soal Kasus Semanggi Mengandung Kebohongan
Sebelumnya Jaksa Agung ST Burhanuddin divonis PTUN Jakarta telah melakukan perbuatan melawan hukum. Putusan itu terkait 'pernyataan' Jaksa Agung di DPR soal status pelanggaran HAM di kasus Semanggi I dan II.
Hal itu terungkap dalam putusan PTUN Jakarta yang dilansir website Mahkamah Agung (MA), Kamis (5/11/2020). Kasus bermula saat Jaksa Agung menyatakan dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI dan Jaksa Agung RI pada tanggal 16 Januari 2020:
... Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat, seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Tindakan Tergugat sebagaimana yang dimaksud objek sengketa adalah tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya atau setidak-tidaknya Tergugat tidak menguraikan proses penyelidikan secara lengkap, tindakan Tergugat demikian cenderung mengabaikan/menyembunyikan fakta mengenai kewajiban yang masih diemban institusi Kejaksaan selaku penyidik yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum," ujar majelis PTUN Jakarta.
Menurut PTUN Jakarta, pada faktanya proses penyelidikan masih berlangsung dan tidak terpengaruh terhadap objek sengketa, tetapi dapat mempengaruhi citra Kejaksaan itu sendiri sebagai lembaga yang tidak transparan.
"Karena apa yang dilaporkan bertentangan dengan kewajiban yang masih melekat kepadanya, laporan tersebut menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan penegakan hukum atas dugaan pelanggaran HAM berat ke depan karena pernyataan tersebut tercatat dalam risalah sidang DPR RI sebagai dokumen negara yang berpotensi dijadikan dasar atau pedoman bagi Tergugat untuk menyikapi permasalahan TSS (Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II-red) ke depan sebagaimana Tergugat mengutip hasil Rapat Paripurna DPR RI tanggal 9 Juli 2001," ujar majelis yang diketuai Andi M Ali Rahman.
"Tindakan Tergugat demikian selain mengandung kebohongan (bedrog) juga melanggar asas kecermatan dari asas-asas umum pemerintahan yang baik karena tidak memperhatikan nilai hukum yang terkandung dalam Putusan MK No. 18/PUU- V/2008 tanggal 21 Februari 2008," sambung majelis yang beranggotakan Umar Dani dan Syafaat.
PTUN Jakarta memahami kendala proses penegakan hukum terhadap dugaan pelanggaran HAM berat yang melibatkan dua institusi. Dan berkaca pada kegagalan dalam mengungkap pelanggaran HAM masa lalu pada case yang lain.
"Sehingga dalam penanganan TSS ini Kejaksaan lebih serius dan teliti terhadap syarat formil dan syarat materil yang harus dipenuhi dalam tahap penyelidikan untuk meningkatkan ke status penyidikan sehingga dalam proses itu di beberapa aspek menemui kendala. Terkait kendala tersebut Pengadilan tidak akan menguraikan lebih jauh karena di luar aspek hukum administrasi sehingga tidak menjadi dasar pertimbangan hukum ini," beber majelis.(dtk)