OLEH: SALAMUDDIN DAENG
MESKI belum resmi menang, kandidat Presiden AA Joe Biden menyatakan akan masuk lagi ke perjanjian perubahan iklim Paris COP 21 segara setelah dilantik.
Sebelumnya, Donald Trump telah menyatakan keluar dari perjanjian ini.
COP 21 adalah serangan yang sangat mematikan bagi minyak dan batubara. Dengan demikian ini akan membawa USA memimpin kembali agenda transisi energi dan transisi keuangan pasca Petro Dolar.
Dengan demikian minyak dan gas (migas) hanya akan mengandalkan pasar China. Demikian juga batubara.
Sementara harga kedua komoditas ini sekarang terpuruk. Maka tak ada harapan lagi bagi keduanya untuk bangkit.
Tidak ada jaminan China akan terus ngotot mengkonsumsi minyak dan batubara sebagai fondasi energi mereka. Dalam hal ini China akan mengambil pijakan yang sama dengan USA, mengingat masalah lingkungan adalah masalah universal. Masalah penyelamatan umat manusia.
Lalu apa masalahnya bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo? Ini adalah hantaman tepat di ulu hati. Kedua komodoti ini adalah sumber uang utama pemerintahan ini. Jika harga kedua komoditi ini jatuh, maka kering kerontanglah kantong pemerintah.
Sementara pemerintah telah menandatangani COP 21, dan telah meratifikasi menjadi UU. Artinya Presiden wajib melaksanakan komitmen perubahan iklim ini, sebab kalau tidak, maka Presiden telah melanggar UU. Namun kewajiban ini telah diabaikan begitu saja sejak ditandatangani.
Demikian pula Presiden Jokowi telah berangkat dari proyek energi kotor dalam membiayai kekuasaanya. Produksi batubara telah ditingkatkan hingga 700 juta ton setahun. Dua kali lipat dibandingkan sebelum penandatangan perjanjian Paris.
Tidak Hanya itu, Presiden merancang mega proyek 35 ribu megawatt untuk menggerakkan ekonomi. Proyek pembangkit listrik yang didominasi oleh PLTU batubara yang semakin menjauhkan Presiden dari komitmen pada perjanjian Paris. Ditambah lagi mega proyek energi kotor tersebut sekarang telah menyeret PLN dalam kubangan kerugian keuangan.
Akibatnya, tantangan Presiden dalam tahun mendatang akan sangat berat. LSM lingkungan akan makin mendapatkan amunisi dalam menyerang kebijakan pemerintah.
Bukan hanya karena ini adalah agenda internasional yang akan disokong oleh Joe Biden, Partai Demokrat, namun juga karena dampak ekploitasi energi kotor di dalam negeri telah merusak lingkungan dan banyak memakan korban masyarakat.
Keuangan BUMN Jokowi di bidang energi yakni Pertamina dan PLN akan makin berat. Bank-bank telah mengurangi secara signifikan pembiayaan energi fosil.
Sampai tahun 2025 bank-bank besar internasional mungkin akan menghentikan sama sekali dan menuju transisi energi. Pembangkit pembangkit PLTU batubara dan disel akan segera gulung tikar dalam waktu dekat.
Secara ekonomi keadaan ekonomi Indonesia akan menghadapi beban berat. Ekspor Indonesia akan terhambat pajak karbon 250 dolar per ton yang sekarang segera jalan di seluruh negara maju.
Indonesia akan makin sukit ekspor raw material terutama yang terdaftar sebagai hasil ekstraksi yang merusak lingkungan. Demikian juga barang-barang hasil industri yang masuk pasar Eropa dan USA akan berhadapan dengan Carbon tax atau pajak karbon. Sumber keuangan pemerintah dari green bond tak mungkin bisa diimpikan.
Pintu keluar Presiden Jokowi cuma satu, memutus ketergantungan ekonomi pada energi kotor. Caranya dengan memisahkan sama sekali kekuasaannya dari pengaruh para oligarki tambang batubara dan juga minyak. Hal ini akan menjadi pintu masuk bagi Presiden Jokowi mengambil sumber daya keuangan dari seluruh dunia dalam agenda dunia yakni Transisi Energi.
(Penulis adalah peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)