GELORA.CO - Wacana rekonsiliasi nasional mencuat ke permukaan seiring dengan kepulangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) ke tanah air.
Menanggapi wacana itu, pengamat sosial politik Karyono Wibowo mengingatkan agar jangan sampai rekonsiliasi mengalami bias makna dan salah kaprah. Sebab rekonsiliasi sejatinya harus memiliki urgensi, tujuan, dan kerangka.
"Jika upaya rekonsiliasi sebatas untuk merangkul kubu HRS, maka menggunakan istilah rekonsiliasi nasional sangat tidak tepat. Mungkin lebih tepat menggunakan istilah kompromi politik atau politik akomodatif," ungkapnya kepada Kantor Berita RMOL DKI Jakarta, Kamis (12/11)
Dengan demikian, jika pemerintahan Jokowi-Maruf bersedia melakukan kompromi atau politik akomodatif dengan kubu HRS untuk 'berdamai' atau mencari titik temu dengan kubu HRS, maka Presiden Jokowi cukup menunjuk Menkopolhukam Mahfud MD atau siapapun yang dipandang bisa berperan sebagai utusan.
"Pasalnya, jika hanya untuk merangkul HRS atau kubu oposisi namanya bukan rekonsiliasi nasional. Karena rekonsiliasi harus dipandang sebagai kebutuhan kolektif bangsa," sambung Karyono.
Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) itu menambahkan rekonsiliasi nasional merupakan kebutuhan bangsa agar tidak terjebak ke dalam kubangan konflik yang berkepanjangan.
Masalahnya, konflik masa lalu justru dikelola untuk tujuan tertentu yang malah memperpanjang dan memperuncing konflik.
Ujungnya, yang terjadi bukan rekonsiliasi nasional yang bertujuan untuk mengakhiri konflik, tapi yang terjadi adalah kompromi politik sebatas kepentingan elit.
"Rekonsiliasi akhirnya terdistorsi menjadi sebatas kompromi elit. Upaya rekonsiliasi seperti ini niscaya tidak akan menyelesaikan akar persoalan," tutup Karyono. (RMOL)