GELORA.CO - Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman bercerita soal Front Pembela Islam (FPI) yang akan menghukum PKI. Pangdam Jaya meminta FPI tidak asal menindak, dan menunjukkan keberadaan PKI.
"Saya tanya kemarin ada perwakilan, saya bilang ini PKI sudah berkeliaran sehingga saya harus bergerak, eh saya bilang, 'Sampean tidak boleh melakukan itu, aparat penegak hukum yang wajib melakukan itu. Kalau tidak kepolisian, adalah tentara ya, atau TNI,'" kata Dudung dalam acara Ngopi Bareng Pangdam Jaya di Markas Kodam Jaya Jalan Mayjen Sutoyo, Cililitan, Jakarta Timur, Rabu (25/11/2020).
Jika memang ada PKI, Pangdam Jaya meminta FPI tidak mengambil langkah hukum sendiri. Dia meminta FPI membuktikan keberadaan PKI, lalu aparat penegak hukumlah yang akan bertindak.
"Tidak boleh nangkap PKI, PKI mana. Kalau ada PKI, tunjukkan di mana PKI itu, pasti akan ketahuan ya. Tidak boleh FPI ngambil PKI atau menghukum, membunuh, itu tidak, tidak boleh, harus kepolisian atau TNI, tidak boleh menghalalkan segala cara," katanya.
Diketahui sebelumnya, Persaudaraan Alumni (PA) 212, GNPF Ulama, beserta sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) pernah menggelar acara bertajuk 'Apel Siaga Ganyang Komunis'. Dalam apel tersebut, Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Sobri Lubis didapuk menjadi inspektur apel.
Sobri menyampaikan orasinya di hadapan massa. Dia mengungkap soal kajian imam besar FPI soal kebangkitan PKI.
"Upaya-upaya licik yang dilakukan kelompok anti-Tuhan pada lima tahun lalu, imam besar Al-Habib Rizieq Syihab bersama teman-temannya membuat kajian indikasi kebangkitan komunis di Indonesia, mulai marak logo PKI, lalu penghapusan sejarah pada kurikulum sekolahan, lalu hilangnya film G30-S PKI yang menandakan bahaya, Indonesia sampai kudeta dua kali," kata Sobri di Lapangan Ahmad Yani, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Jumat (5/7).
"Upaya-upaya untuk mencabut Tap MPR 65 Tahun '66, lalu adanya upaya mendesak pemerintah Indonesia minta maaf kepada komunis, kepada PKI," imbuhnya.
Sobri menilai saat ini ada upaya unsur PKI menyusup dalam pemerintahan. Hingga akhirnya ada wacana untuk mengubah dasar negara.
"Lalu saat ini muncul setelah mereka berhasil menyelusup ke institusi baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, mulai mengutak-atik dasar negara kita," tutur Sobri.[]