GELORA.CO - Kabar soal Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang terpapar Covid-19 menjadi sorotan publik internasional jelang akhir pekan ini. Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar bagi sejumlah pihak, "what next?". Lantas, apa yang akan terjadi setelah Trump dinyatakan positif Covid-19?
Bloomberg pada 13 Mei lalu pernah mempulikasikan artikel berjudul "If the President Tests Positive for the Virus, What Happens?". Artikel tersebut memprediksi kemungkinan yang bisa saja terjadi jika Trump positif Covid-19, merujuk pada pendapat sejumlah tokoh, pakar dan pengamat yang kompeten.
Banyak hal yang akan mungkin terjadi, mulai dari gangguan sementara hingga krisis konstitusional besar-besaran bahkan bisa merambah ke persaingan untuk memperebutkan kursi nomor satu Amerika Serikat dalam pemilu tahun ini.
Kemungkinan yang sangat mungkin terjadi setelah Trump dinyatakan positif Covid-19 adalah gangguan dalam ekonomi dan geopolitik. Namun tingkat kejatuhan ekonomi dan geopolitik akan sangat bergantung pada tingkat keparahan penyakitnya, dan terutama pada apakah Trump sendiri menjadi tidak berdaya atau tidak.
"Ada protokol untuk semuanya," kata mantan penasihat senior Gedung Putih untuk Barack Obama, David Axelrod.
"Kami secara rutin menjalani latihan tentang apa yang harus dilakukan jika terjadi serangan teroris atau nuklir, tapi sejujurnya saya tidak pernah mengantisipasi situasi pandemi seperti yang dihadapi Gedung Putih sekarang," jelasnya.
Sementara itu, Ian Bremmer, presiden Grup Eurasia, yakni sebuah perusahaan konsultan risiko geopolitik mengatakan bahwa pasar hampir pasti akan jatuh karena berita diagnosis presiden. Tetapi dia memprediksi hal tersebut tidak akan signifikan, terlebih jika melihat Perdana Menteri Inggris Boris Johnson yang berhasil sembuh dari Covid-19.
Pasalnya, meskipun Johnson mewakilkan Menteri Luar Negeri Dominic Raab untuk menangani beberapa tugas ketika dia memasuki perawatan intensif pada 7 April lalu, Johnson tidak pernah secara resmi mengalihkan kekuasaan. Dan setelah sembuh, dia pun kembali bekerja dan melanjutkan tugasnya secara penuh.
"Jika Trump mendapatkannya dan dikarantina di kediaman, tetapi tetap bertanggung jawab atas pemerintah dan men-tweet seperti orang gila, saya pikir akan ada dampak pasar de-minimis," kata Bremmer.
Namun jikalau Trump mengalami kondisi yang buruk akibat Covid-19, ada proses yang digunakan oleh presiden sebelumnya untuk melepaskan kekuasaan untuk sementara. Amandemen Konstitusi ke-25 memungkinkan Trump untuk menyerahkan kendali kepada wakil presiden dan kemudian merebutnya kembali segera setelah dia menyatakan dirinya mampu untuk memegang kekuasaan.
Contoh kasus semacam itu pernah terjadi di masa lalu ketika pemerintahan George W. Bush. Dia melakukan hal ini dua kali selama masa kepresidenannya, saat menjalani prosedur medis. Selain itu, Ronald Reagan juga pernah melakukan hal tersebut satu kali, saat menjalani operasi usus besar.
Oleh karena itu, jika Trump tiba-tiba atau harus dibius untuk diintubasi, maka Amandemen ke-25 juga memungkinkan wakil presiden dan kabinet untuk melakukan pengalihan kekuasaan presiden.
Namun jika kondisi ternyata lebih buruk lagi, dalam skenario jika presiden dan wakil presiden meninggal dunia, peta jalan dalam konstitusi Amerika Serikat pun sudah jelas, yakni Ketua DPR Nancy Pelosi akan mengambil alih kekuasaan.
"Dalam peristiwa itu, garis suksesi jelas," kata profesor hukum di Universitas George Mason, Ilya Somin.
Tetapi para ahli konstitusi memperingatkan bahwa kekacauan dapat terjadi jika Trump dan Pence dilumpuhkan oleh Covid-19 dalam waktu bersamaan. Pasalnya undang-undang tersebut memberikan sedikit kejelasan dalam menyelesaikan skenario seperti itu.
"Ini akan menjadi pertunjukan yang sangat buruk yang dapat mengakibatkan kehancuran konstitusional skala penuh," kata seorang profesor hukum di Michigan State University Brian Kalt.
"Ini akan segera dibawa ke pengadilan, dan mereka harus segera memutuskan apa yang harus dilakukan. Karena tidak mengetahui siapa presiden itu bahkan untuk beberapa jam bisa sangat berbahaya bagi negara," jelas Kalt yang juga penulis buku "Unable: The Law, Politics, and Limits of Section 4 of the Twenty-Fifth Amendment".
Jika Trump dan Pence sama-sama tidak dapat memenuhi tugas mereka, keduanya tidak dapat meminta Amandemen ke-25. Konstitusi menginstruksikan Kongres untuk mengatur garis suksesi, yang terakhir diperbarui dalam Undang-Undang Suksesi Presiden tahun 1947, undang-undang yang menempatkan ketua DPR Nancy Pelosi, di urutan berikutnya untuk kursi presiden.
Masalahnya, kata Kalt, adalah bahwa Konstitusi tidak menawarkan prosedur untuk menentukan "ketidakmampuan" presiden untuk melakukan, sehingga menimbulkan kemungkinan perselisihan. Sehingga, jika kondisi semacam itu terjadi, akan mungkin ada keadaan di mana Pelosi, yang merupakan seorang Demokrat, menyatakan dirinya sebagai penjabat presiden, bahkan jika Trump dan Pence atau pengacara mereka, menyatakan diri mereka layak untuk menjabat. (*)