Menyadur Channel News Asia, Jeenbekov menyebut mundurnya dia dari jabatan adalah upaya untuk menekan kemungkinan kerusuhan yang meluas.
"Saya tidak berpegang teguh pada kekuasaan. Saya tidak ingin turun dalam sejarah Kirgistan sebagai presiden yang mengizinkan pertumpahan darah dan penembakan terhadap rakyatnya. Saya telah mengambil keputusan untuk mundur," kata Jeenbekov dalam pernyataan yang dirilis oleh kantornya.
Protes meletus setelah pemilu pada 4 Oktober yang dimenangkan oleh partai-partai yang dekat dengan Jeenbekov. Para oposisi mengatakan ada praktik jual beli suara.
Kendati hasil akhir pemilihan belakangan dibatalkan, tetapi hal itu tak serta merta meredakan ketegangan.
Lebih dari 1.200 orang terluka dan satu orang tewas dalam bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi.
Pengunduran diri dilakukan ketika para pendukung Perdana Menteri Sadyr Japarov, yang menjalani hukuman penjara karena penyanderaan minggu lalu, berkumpul pada Kamis utnuk menuntut lengsernya Jeenbekov.
"Situasi saat ini dekat dengan konflik dua sisi. Di satu sisi, pengunjuk rasa, di sisi lain, lembaga penegak hukum," kata Jeenbekov dalam pernyataanya.
"Aparat militer dan aparat penegak hukum wajib menggunakan senjata untuk melindungi kediaman kepala negara. Dalam hal ini akan terjadi pertumpahan darah. Tidak bisa dihindari. Saya mengimbau kedua belah pihak untuk tidak mengalah pada provokasi," imbuhnya.
Jeenbekov sebelumnya mengatakan akan mengundurkan diri hanya setelah pemilihan parlemen baru diadakan dan pemilihan presiden diumumkan.
Pernyataan Jeenbekov tersebut dikeluarkan setelah pertemuannya dengan Perdana Menteri pada Rabu (14/10).
Kirgistan telah dirundung oleh volatilitas politik selama tiga dekade kemerdekaannya.
Negara berpenduduk 6,5 juta orang, kini telah menyaksikan tiga presiden digulingkan oleh kerusuhan sejak memperoleh kemerdekaan dari Uni Soviet pada tahun 1991. (*)