GELORA.CO - Sembilan aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) sudah ditangkap polisi. Akankah penangkapan ini berlanjut?
Menurut Menkopolhukam Mahfud MD—seperti dikutip CNN Indonesia—penangkapan terhadap apa yang disebut sebagai pihak yang menunggangi aksi penolakan UU Cipta Kerja yang berujung ricuh itu akan terus ditangkap. Dia menegaskan, aparat sudah memiliki informasi intelijen.
“Kita sudah punya siapa bertemu siapa, ngomong apa, di mana, itu ada. Dan sekarang mulai ditangkap-tangkap, dan masih akan berlanjut,” kata Mahfud MD.
Pertanyaannya, apakah penangkapan akan berlanjut terhadap Presidium KAMI, termasuk Prof Din Syamsuddin?
Untuk menjawab pertanyaan itu, ada tiga analisis yang perlu dicermati—sekaligus sebagai doa. Pertama, posisi Din Syamsuddin dengan latar belakang Muhammadiyah sebagai ormas tertua dan terbesar di Indonesia.
Din Syamsuddin adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-2015. Pada periode sebelumnya (2000-2005), Din Syamsuddin telah menjadi salah satu anggota PP Muhammadiyah. Dia juga adalah Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah tahun 1989-1993.
Pasca-Muktamar Ke-47 di Makassar tahun 2015, dia tak lagi duduk di PP. Tapi kemudian mendirikan dan memimpin Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan, periode 2015-2020.
Meski kini ‘hanya’ sebagai Ketua PRM Pondok Labu, tetapi posisi Din Syamsuddin masih melekat kuat di hati warga Muhammadiyah se-Indonesia. Apalagi dia sampai saat ini masih intensif menyapa warga Muhammadiyah.
Sebelum pandemi Covid-19, alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo itu berkeliling ke berbagai daerah untuk menghadiri undangan berceramah. Di masa pandemi pun dia masih aktif menyapa mereka melalui media daring dalam bentuk pengajian dan webinar.
Tidak bisa dibayangkan bagaimana reaksi warga Muhammadiyah jika Din Syamsuddin ditangkap sebagai tahanan politik misalnya dengan “pasal karet” UU ITE.
Bukan Hanya Mlik Muhammadiyah
Kedua, selain sebagai tokoh Muhammadiyah, Din Syamsuddin adalah tokoh bangsa. Saat ini dia menjabat sebagai ketua di berbagai lembaga penting dan berpengaruh. Dia adalah Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Din juga pernah menjadi Ketua MUI tahun 2014-2015 dan Wakil Ketua MUI tahun 2005-2014.
Selain itu Din Syamsuddin adalah Ketua Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN-PIM) yang rutin mengkaji masalah-masalah straregis nasional. Dia juga mendirikan dan membina Pengajian Orbit yang banyak diikuti para artis.
Di kancah internasional, Din Syamsuddin juga memegang beberapa ketua organisasi. Di antaranya, Ketua Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC); Presiden Moderator Asian Conference of Religions for Peace (ACRP) atau Organisasi Tokoh-Tokoh Agama Se-Asia, dan hairman, World Peace Forum (WPF).
Dengan posisi dan kapasitas intelektualnya itu Din Syamsuddin berulang-kali mengikuti berbagai konferensi internasional, terutama untuk mengenalkan Islam Indonesia dan mendialogkan perdamaian dan kerja sama antaruma beragama.
Tak heran jika Presiden Joko Widodo pernah mengangkatnya sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban (UKP-DKAAP) sebelum mengundurkan diri pada 21 September 2018.
Dengan keterlibatannya seperti digambarkan di atas , tentu membuat penguasa berpikir ulang jika akan menangkap Din Syamsuddin. Sebab pasti akan mendapat reaksi dunia.
Kritik Strategis Din Syamsuddin
Beberapa tokoh KAMI telah ditangkap polisi. Mereka “dipamerkan” dalam jumpa pers yang digelar oleh Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono dan Dirtipid Siber Brigjen Slamet Uliandi di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (15/10/2020).
Ada sembilan tersangka yang ditangkap di Medan dan di Jakarta. Terdiri dari lima pria dan empat perempuan. Mereka mengenakan baju tahanan berwarna oranye. Tangannya pun diborgol. Seperti tahanan kriminal!
Para tersangka yang berada di barisan depan tersebut di antaranya Ketua KAMI Medan Khairi Amri (KA), dan petinggi KAMI Syahganda Nainggolan (SN), Jumhur Hidayat (JH) dan Anton Permana (AP).
Tersangka lainnya juga ikut dipamerkan. Yaitu Juliana (JG), Novita Zahara S (NZ), Wahyu Rasasi Putri (WRP) Kingkin Anida (KA) dan Deddy Wahyudi (DW) admin akun @podo_ra_dong.
Seperti disampaikan polisi, aktivis KAMI ditangkap dengan UU ITE. Mereka diduga polisi melakukan aktivitas di media sosial yang diduga menjadi salah satu penyebab demonstrasi menolak UU Cipta Kerja, 8 Oktober 2020, yang berakhir dengan kerusuhan.
Jumhur Hidayat misalnya. Dia diduga mengunggah ujaran kebencian melalui akun Twitter pribadinya yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja. Cuitan itu disebut polisi berakibat pada suatu pola anarkis dan vandalisme.
“Tersangka JH (Jumhur Hidayat) ini di akun Twitternya menulis salah satunya ‘undang-undang memang untuk primitif, investor dari RRT, dan pengusaha rakus’. Ini ada di beberapa twitnya,” kata Argo.
Sementara itu yang membuat Syahganda Nainggolan dijerat UU ITE adalah cuitan dia di akun Twitter @syahganda: “Tolak Omnibus Law”, “Mendukung demonstrasi buruh, turut mendoakan berlangsungnya demo buruh”.
Sedangkan Anton Permana diciduk karena memposting konten di akun Facebook dan YouTube miliknya video berjudul “TNI ku sayang TNI ku malang”.
Bunyinya: “Multifungsi Polri yang melebihi peran dwifungsi ABRI yang dulu kita caci maki yang NKRI kebanyakan menjadi Negara Kepolisian Republik Indonesia”, “Disahkan UU Ciptaker bukti negara ini telah dijajah”, “Negara sudah tak kuasa lindungi rakyatnya” dan “Negara dikuasai oleh cukong, VOC gaya baru”.
Sudah Siapkan Koper
Din Syamsuddin memang punya akun Twiter. Pertama dia punya @OpiniDin tapi akhirnya diretas orang tak bertanggung jawab. Kemudian dia bikin lagi @M-dinsyamsuddin.
Tapi Din Syamsuddin tidak menggunakan media sosial sebagai alat untuk menyampakan pemikiran kritisnya pada penguasa. Dia lebih memilih media massa sebagai cara menyebarluaskan gagasan-gagasannya.
Karena itu cara Din Syamsuddin ini cukup cerdas dan, tentu, aman. Mengapa? Karena sebelum dimuat media massa—online atau cetak—pasti ada proses editing. Jadi relatif bisa menghindari risiko terjerat UU ITE yang kini sering dipakai penguasa untuk membungkam suara-suara kritis. Inilah alasan ketiga bahwa Din Syamsuddin tidak akan ditangkap.
Jadi, Din Syamsuddin akan aman. Kecuali aparat nekat menciduk lawan-lawan politik rezim penguasa. Entah dengan mencari pasal apa? Kalau ini yang terjadi—dan ini yang kita khawatirkan—para pendukungnya juga akan nekat.
Din Syamsuddin sendiri ketika ditanya perihal kondisinya oleh PWMU.CO, Kamis (15/10/2020), menjawab singkat, “Insya Allah (aman).”
Tapi Din Syamsuddin rupanya tak gentar jika harus ditangkap. “Alhamdulillah saya sudah selesai dengan dunia. Karena perjuangan ini diniatkan lillah. Maka saya bertawakkal ‘alallah. Saya sudah siapkan koper berisi pakaian, al-Quran dan beberapa buku, jika suatu waktu saya ditangkap bahkan ditahan,” tambahnya Jumat (16/10/2020). (pmwu)