GELORA.CO - Bank Dunia (World Bank) merilis laporan terbaru tentang statistik utang internasional (International Debt Statistics) 2021.
Dalam catatan tersebut lembaga ini melaporkan deretan negara low-middle income dengan jumlah utang luar negeri terbesar di dunia.
Negara dengan utang terbesar di 2019 adalah China, di mana jumlahnya sebesar US$ 2,1 triliun.
Dan Indonesia masuk ke dalam laporan itu, berada di posisi ke-7 dengan jumlah utang US$ 402,08 miliar atau senilai Rp 5.900 triliun.
Laporan itu juga menyebutkan posisi utang luar negeri RI terus mengalami kenaikan. Pada tahun 2017 utang RI senilai US$ 353,56 miliar, tahun 2018; 379,58 US$ miliar dan tahun 2019 ; US$ 402,08 miliar.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati, mengatakan, terlepas dari Catatan world bank itu, Pemerintah harus berhati-hati dalam menetapkan utang luar negeri (ULN).
Berdasarkan data APBN edisi Agustus 2020, realisasi pembiayaan utang Indonesia hingga Juli telah mencapai Rp519,22 triliun.
Realisasinya terdiri dari penyerapan SBN Rp513,4 triliun, utang luar negeri (ULN) Rp5,17 triliun, dan pinjaman dalam negeri Rp634,9 miliar.
Dengan realisasi ini, posisi utang Indonesia per Juli 2020 telah menyentuh Rp5.434,86 triliun.
Utang tersebut terdiri dari SBN Rp4.596,6 triliun, pinjaman Rp10,53 triliun, dan ULN Rp828,07 triliun. Rasio utang terhadap PDB telah naik menjadi 34,53% dari sebelumnya 33,63% pada Juli 2020.
Untuk tahun ini, bunga utang Indonesia telah mencapai Rp338,8 triliun atau setara 17% dari APBN 2020.
“Angka ini telah melewati batas aman yang direkomendasikan IMF, yakni 10%,” kata Anis kepada Pojoksatu.id melaui keteterangan persnya, Rabu (20/10/2020).
Selain itu, akibat kebijakan utang ini, debt service ratio (DSR) Indonesia pun turut naik. Data Statistik Utang Luar Negeri (SULNI) semester I 2020 menunjukkan, DSR tier-1 Indonesia telah mencapai 29,5%.
“Angka ini telah melewati batas aman DSR yang ditetapkan IMF sebesar 25%. DSR tier-1 merupakan indikasi penambahan ULN yang tidak disertai dengan peningkatan kinerja ekspor dan komponen penambahan devisa lainnya,” ujarnya.
“Dengan DSR di atas 25% itu, artinya jumlah utang Indonesia kini sudah masuk pada tingkat waspada,” ungkap Anis.
Anak buah Sohibul Iman ini menyebutkan, menjadi masalah tambahan ketika risiko yang besar ini diambil untuk sesuatu yang hasilnya belum terlihat efektif.
“Upaya meredam dampak Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang menjadi dalih pemerintah berutang masih belum menunjukkan hasil maksimal. Serapan dana pemulihan ekonomi nasional untuk menangani Covid-19 masih di bawah 40%,” jelasnya.
“Hingga 17 September lalu, baru teralokasi Rp254,4 triliun, atau 36,6% dari pagu Rp605,2 triliun,” sambung Anis.
Lebih lanjut Anis menjelaskan bahwa penambahan utang Indonesia secara statistik dalam kurun waktu 2014 sampai dengan 2020 (outlook) telah mencapai Rp3.390,72 triliun atau meningkat 129,97 persen hanya dalam waktu enam tahun (2014 sebesar Rp2.608,78 triliun serta Rp5.999,50 triliun pada outlook 2020).
“Sejak terjadinya krisis 1997-1998, periode pemerintahan ini memegang rekor dengan penambahan utang terbanyak,” tegas Anis.
Bukan hanya secara agregat, Debt to GDP ratio juga mengalami peningkatan. Periode pemerintahan terdahulu mencatat debt to GDP ratio terus mengalami penurunan dari 50 persen pada 2004 hingga mencapai 24 persen pada tahun 2014.
Namun sebaliknya, periode pemerintahan ini hingga akhir 2019 debt to GDP ratio telah mencapai 30,2 persen.
“Dengan utang yang makin melonjak tahun 2021, debt to GDP ratio akan mencapai kisaran 40 persen,” tuturnya.
Anis pun mengingatkan bahwa meningkatnya debt to GDP ratio ini menunjukan bertambahnya jumlah utang yang tidak diiringi dengan bertambahnya produksi nasional secara proporsional.
Oleh karena itu, Anis memberi saran agar pemerintah segera melakukan optimalisasi pembiayaan ULN dan mencari alternatif pembiayaan yang lebih murah.
Sementara itu utang harus digunakan untuk belanja yang benar benar produktif dan bisa menggerakkan ekonomi rakyat di saat pandemi masih berlangsung.
“Pemerintah perlu untuk menjaga kesinambungan pembiayaan dan mengoptimalkan hasil pengelolaan asset dan investasi serta piutang-piutang Negara yang bermasalah agar dapat menjadi penerimaan Negara,” pungkasnya. (*)