GELORA.CO - Dari deretan mantan Panglima TNI, nama Gatot Nurmantyo mungkin yang paling menonjol saat ini. Publik tentu ingat bagaimana Gatot hadir di Monas, Jakarta lengkap dengan peci putihnya untuk memberikan dukungan terhadap gerakan 212.
Sejak saat itu, nama Gatot Nurmantyo digadang oleh Relawan Selendang Putih Nusantara sebagai kandidat di Pilpres 2019. Meskipun gagal terpilih sebagai kandidat, popularitas sang jenderal jelas telah terpupuk tinggi.
Di tengah deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang disebut-sebut mendapatkan sejumlah represi, nama Gatot kerap kali muncul di kaca-kaca media. Selaku sosok yang merupakan garda terdepan dalam gerakan tersebut, nama sang jenderal sekiranya wajar untuk dimunculkan sebagai headline pemberitaan. Praktis, itu menjadi semacam endorse gratis yang menguntungkan.
Menariknya, terdapat semacam narasi tandingan yang bersifat sistematis untuk menolak gerakan dan menyudutkan nama KAMI dan Gatot. Pada 19 Agustus lalu, misalnya, peletakan batu pertama narasi tandingan tersebut terlihat dengan dideklarasikannya Kerapatan Indonesia Tanah Air (KITA) oleh relawan Jokowi-Ma'ruf Amin.
Kendati deklarator KITA menolak disebut sebagai tandingan KAMI, publik tentu dapat membaca bahwa dengan dipilihnya akronim KITA, itu memiliki makna yang lebih bersifat inklusif daripada akronim KAMI yang terdengar eksklusif.
Setelah deklarasi KITA, berbagai bentuk penolakan deklarasi KAMI, baik lisan maupun tindakan seperti demonstrasi kemudian tampak terlihat. Terbaru, pada demonstrasi penolakan deklarasi KAMI di Surabaya baru-baru ini, Gatot bahkan dengan tegas menyebutnya sebagai massa bayaran.
Menimbang pada tengah memburuknya pandemi Covid-19, narasi penolakan deklarasi KAMI memang dapat dibenarkan karena telah memicu kerumunan massa. Kendati tidak menyebutkan secara spesifik, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan juga menyinggung adanya gerakan politis pengumpul massa dengan menyebutnya sebagai birahi kekuasaan.
Akan tetapi, apabila kita membandingkan dengan konteks serupa, yakni dilanjutkannya Pilkada 2020 yang telah terbukti menghimpun kerumunan massa, mengapa terjadi semacam “standar ganda” terhadap gerakan KAMI? Mungkinkah terdapat agenda politik tertentu di baliknya?
Taktik Red Herring
Pada tahun 1807, jurnalis Inggris bernama William Cobbett menulis cerita tentang bagaimana Ia menggunakan ikan haring merah (red herring) untuk mengalihkan perhatian anjing dari mengejar kelinci. Cobbett menggunakan anekdot ini untuk mengkritik beberapa rekan jurnalisnya yang saat itu terlena dalam memberitakan informasi palsu tentang kekalahan Napoleon Bonaparte, sehingga terlalihkan untuk memberitakan urusan domestik yang dinilai jauh lebih penting.
Istilah red herring kemudian diadopsi sebagai salah satu kekeliruan logis, di mana dalam suatu diskursus, informasi baru yang tidak relevan sengaja dilempar agar topik utama menjadi teralihkan. Dalam praktiknya, red herring digunakan sebagai “strategi pengelak” karena tengah terpojok ataupun argumentasi yang dikeluarkan tidak terlalu kuat.
Dewasa ini, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kerap disorot karena kerap menggunakan taktik red herring ketika dihadapkan pada isu-isu penting. Salah satu red herring Trump yang paling diingat publik terjadi pada 17 September 2015 lalu.
Saat itu, politisi Partai Republik ini mendapat pertanyaan dari seorang sukarelawan dari League of Conservation Voters bernama Megan Andrade terkait rencanannya untuk mengurangi polusi yang mendorong perubahan iklim dan membahayakan kesehatan masyarakat.
Namun, alih-alih menjawab pertanyaan tersebut, Trump justru mengajukan pertanyaan dengan mempertanyakan berapa banyak orang yang hadir di forum tersebut yang percaya pada pemanasan global? Pada akhirnya, Trump tidak menjawab pertanyaan Andrade karena sibuk menanyakan kepercayaan orang lain terhadap pemanasan global.
Di Indonesia, pengamat politik Rocky Gerung juga pernah mempraktikkan taktik tersebut. Bagi para penikmat Indonesia Lawyers Club (ILC) tentu mengikuti panasnya perdebatan ketika Rocky menyebut “Kitab Suci itu Fiksi”.
Menariknya, ketika terlihat terdesak karena pernyataannya, mantan dosen ilmu filsafat Universitas Indonesia (UI) tersebut kemudian mengeluarkan pernyataan baru dengan menyebut Presiden Jokowi tidak cocok naik sepeda motor chopper.
Peserta ILC lainnya kemudian terpancing dan beralih untuk menyerang pernyataan Rocky yang baru. Di sini, Rocky jelas telah mempraktikkan red herring ketika mengeluarkan pernyataan “chopper Jokowi”.
Pada praktiknya dewasa ini, red herring tidak hanya digunakan sebagai seni retorika, melainkan juga telah menjadi taktik propaganda yang mumpuni. Pada kampanye Pilpres 2019, misalnya, taktik propaganda red herring setiap hari kita lihat di layar kaca media.
Dalam perdebatan mengenai kapasitas kandidat presiden, misalnya, yang utama harus diperlihatkan tentunya adalah gagasan perubahan masing-masing kandidat. Akan tetapi, alih-alih disuguhkan perang gagasan, yang dinikmati publik justru adalah informasi dan berita-berita tidak relevan, seperti Jokowi hebat karena membangun banyak jalan tol, ataupun Prabowo Subianto perkasa karena memimpin tim mendaki Gunung Everest.
Gatot Sangat Cocok?
Saat ini, di tengah memburuknya pandemi Covid-19 dan tetap dilanjutkannya Pilkada 2020 meskipun ditentang oleh banyak pihak, taktik propaganda red herring tampaknya telah digunakan. Pasalnya, dengan gerakan KAMI diisi oleh tokoh-tokoh populer seperti Said Didu, Din Syamsuddin, Rocky Gerung, Refly Harun, hingga Gatot Nurmantyo, menjadikan KAMI sebagai headline pemberitaan dapat menjadi distraksi yang mumpuni untuk memecah perhatian publik terhadap dua isu sensitif tersebut.
Terlebih lagi, dengan besarnya hembusan narasi bahwa Gatot menggunakan KAMI sebagai kuda tunggangan untuk maju di Pilpres 2024, akan mudah membentuk persepsi publik bahwa KAMI hanyalah gerakan politik semata, serta Gatot adalah aktor antagonisnya.
Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly memberi saran yang mengejutkan di akhir bukunya karena merekomendasikan pembacanya untuk tidak membaca berita dengan tiga alasan.
Pertama, otak manusia tidak mampu bereaksi secara proporsional terhadap kumpulan informasi yang berbeda-beda. Kedua, berita sering kali tidak relevan satu sama lain. Ketiga, membaca berita menurutnya dapat membuang-buang waktu.
Singkatnya, Dobelli hendak menyebutkan bahwa berita dapat begitu mudah mendistraksi pembaca, sehingga sulit untuk menentukan fokus perhatian. Mengacu pada Dobelli, kendati pun hembusan narasi negatif tentang KAMI ataupun Gatot tidak dimasukkan untuk memecah perhatian publik, secara natural itu memang akan berdampak demikian.
Terlebih lagi, dengan tingginya popularitas Gatot dan berbagai manuver politik sang jenderal yang gemar mengkampanyekan isu sensitif, seperti kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), Gatot dapat menjadi pendulang perhatian publik yang mumpuni.
Konteks tersebut juga kembali pada kognisi manusia, di mana otak manusia tidak mampu memberikan fokus yang merata pada berbagai variabel, sehingga harus memberikan porsi fokus yang lebih besar pada variabel tertentu. Dengan kata lain, karena publik sulit untuk memperhatikan berbagai tokoh KAMI yang jumlahnya tidak sedikit, lebih mudah bagi kognisi publik untuk fokus pada Gatot yang memang frontal dalam menampilkan dirinya.
Namun perlu untuk digarisbawahi, tentu tidak diketahui secara pasti apakah benar terdapat propaganda untuk mempersepsikan negatif gerakan KAMI dan Gatot untuk memecah perhatian publik dari Covid-19 dan Pilkada 2020. Akan tetapi, kendati pun agenda tersebut tidak ada, secara natural fokus publik memang akan terbelah karena begitu bervariasinya pemberitaan di kaca-kaca media.
Kita nantikan saja bagaimana kelanjutan pergerakan KAMI dan Gatot ke depannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya.[]