GELORA.CO - Sebelum Gerakan 30 September terjadi di Indonesia, Ketua Comite Central (CC) PKI DN Aidit melawat ke China. Dia bertemu dengan Ketua Partai Komunis China Mao Zedong. Ini yang mereka obrolkan.
Meski tak ada bukti bahwa Republik Rakyat China (RRC) terlibat langsung dalam G30S/PKI, DN Aidit sempat berbicara tentang kondisi politik di Tanah Air. Kunjungan ke China terjadi sebulan sebelum G30S/PKI.
Catatan ini dituliskan Taomo Zhou, saat ini adalah Asisten Profesor di Universitas Teknologi Nanyang (NTU), Singapura, dalam laporan berjudul 'China dan Gerakan 30 September', dimuat dalam Jurnal 'Indonesia' Volume 98, tahun 2014, terbitan Cornell University Southeast Asia Program.
5 Agustus 1965, DN Aidit dan istrinya bernama Tanti, bersama Wakil Sekretaris PKI Jusuf Adjitorop, bertemu dengan Mao Zedong dan para pemimpin China, termasuk Perdana Menteri China Zhou Enlai, Menteri Luar Negeri Chen Yi, Deng Xiaoping, Liu Shaoqi, dan Peng Zhen.
Pada pertemuan di Beijing saat itu, Aidit melaporkan soal kondisi kesehatan Presiden Sukarno yang memburuk, yakni menderita cerebral vasospasm, semacam gangguan pembuluh darah di otak. Saat itu, para pemimpin China khawatir Sukarno bakal digantikan oleh tokoh sayap kanan yang mereka anggap didukung Barat (Amerika Serikat), yakni Menteri Koordinator Bidang Pertahanan Keamanan/Kepala Staf ABRI Jenderal Abdul Haris (AH) Nasution.
Saya pikir sayap kanan Indonesia bertekad untuk merebut kekuasaan. Apakah kamu bertekad juga?
Aidit:
[Mengangguk] Bila Sukarno meninggal, maka akan menjadi masalah soal siapa yang akan mendapat keuntungan.
Mao:
Saya sarankan Anda sebaiknya tidak terlalu sering melakukan kunjungan ke luar negeri. Anda bisa menugaskan orang nomor dua (misalnya, wakil Anda) (di partai Anda) untuk melawat ke luar negeri.
Aidit:
Untuk sayap kanan, mereka bisa mengambil dua kemungkinan tindakan: pertama, mereka bisa menyerang kami. Bila mereka melakukannya, kami akan punya alasan untuk membalas.
Kedua, mereka bisa mengadopsi metode yang lebih moderat dengan membangun pemerintahan Nasakom. Tanpa Sukarno, sayap kanan akan mudah untuk memenangkan dukungan dari pihak tengah agar mengisolasi kami. Skenario yang terakhir itu bakal menyulitkan kami.
Namun, apa pun yang terjadi, kami harus menghadapi mereka. Amerika Serikat menyarankan Nasution untuk tidak memulai kudeta. Ini karena, apabila dia memulai kudeta, maka sayap kiri juga bakal melakukan langkah yang sama. Orang Amerika mengatakan kepada Nasution bahwa dia sebaiknya menunggu dengan sabar; bahkan bila Sukarno meninggal, dia (Nasution) harus fleksibel ketimbang (memulai) kudeta. Dia setuju saran dari orang-orang Amerika.
Mao:
Itu tidak bisa dipercaya. Situasi terkini sudah berubah.
Aidit:
Dalam skenario pertama, kami merencanakan untuk mendirikan dewan militer. Mayoritas dari komite akan diisi orang sayap kiri, namun harus juga melibatkan kaum tengah. Dengan cara ini, kami bakal membuat bingung musuh kami. Musuh kami bakal tidak yakin soal sifat dari komite, maka komandan militer yang cenderung sayap kanan tidak akan melawan kami seketika. Kepala komite militer bakal diisi oleh anggota bawah tanah dari partai kami, namun dia dikenal sebagai orang yang netral. Komite militer harus tidak lama-lama. Kalau terlalu lama, orang-orang baik bakal berubah menjadi jahat. Setelah didirikan, kami butuh mempersenjatai buruh dan tani secara tepat waktu.
Mao cenderung menyarankan agar Aidit menyiapkan dialog damai dan perjuangan bersenjata. Namun sikap pemimpin China tetap tidak jelas soal strategi Aidit itu.
Lalu apakah ada pembicaraan soal rencana Gerakan 30 September? Tak ada bukti kuat yang ditemukan oleh Taomo Zhou selaku peneliti.
Bahkan Beijing dinilai Taomo Zhou sepertinya tidak tahu momentum G30S. Apalagi 1 Oktober 1965 adalah perayaan Hari Nasional RRC.
Kabar G30S/PKI didengar Beijing bukan dari kabar Kedutaan Besar RRC di Indonesia, melainkan dari media massa Associated Press, Agence France-Presse, dan Reuters. Kantor berita Xinhua di Jakarta saat itu terblokir.
"Yang terpenting, Mao bukanlah 'arsitek dari kudeta'. Kelompok rahasia dalam tubuh PKI bergerak sendiri untuk membuat rencana, kemudian disampaikan oleh Aidit kepada para pemimpin China di kemudian hari, dan akhirnya pelaksanaannya di Indonesia membuat Beijing terkejut," tulis Taomo Zhou.
Dialog antara Aidit dan Mao Zedong di atas didapat Taomo Zhou dari data berjudul 'Notulen Rapat antara Ketua Mao dengan Pemimpin Pelbagai Partai Komunis'. Datanya beredar di antara ilmuwan senior China yang mendapat akses ke Arsip Partai Komunis China.(dtk)