GELORA.CO - Setelah membaca Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), para pendukung garis keras Presiden Jokowi alias Jokower, satu per satu mulai 'ganti kulit'. Dulunya: mereka lovers, kini jadi haters.
Intelektual Muda Nahdlatul Ulama (NU) Akhmad Sahal masuk barisan yang ganti kulit ini. Gus Sahal, dikenal sebagai salah satu pendukung garis keras Jokowi.
Melalui akun Twitternya, @sahal_ AS, dia menanggapi cuitan pendiri Mizan, Haidar Bagir, yang juga menyatakan kekecewaan terhadap Jokowi. Bagir ingat, Jokowi yang selalu berpegang teguh pada pesan sang ibu agar jadi pembela bagi orang-orang lemah. Kini, memori itu mengabur dengan kebijakan-kebijakan yang tidak pro kepada rakyat kecil.
"Saya masih ingat wajah Pak @Jokowi yang lugu saat kampanye presiden untuk pertama kalinya, juga kesederhanaannya dalam berpegang pada pesan ibunya agar anaknya menjadi pembela orang-orang lemah. Memori itu seperti mendadak kabur di tengah kebijakan-kebijakan ‘jalan pintas’ yang tak sensitif kepada rakyat kecil," cuit Haidar, lewat akun @Haidar_Bagir.
Sahal pun mengomentari cuitan itu dengan menyebut, banyak pendukung termasuk dirinya yang merasa Jokowi luntur ke-Jokowi-annya. "Jokowi sedang mengalami proses deJokowiisasi," komentar Gus Sahal.
Dia juga mengingatkan pernyataan Jokowi dalam debat Calon Presiden 2014. Saat itu, Jokowi mengatakan, demokrasi berarti mendengar secara langsung suara rakyat. Saat ini, dia justru terkesan tak mengindahkan suara rakyat.
"Dalam debat presiden 2014, Jokowi bilang demokrasi adalah mendengar secara langsung suara rakyat. Sayangnya kesediaan Jokowi untuk mendengar suara rakyat kini mulai luntur," cuit Gus Sahal.
Apa yang dicuitkan Gus Sahal ini, diamini pendukung Jokowi lain, Ulil Abshar Abdalla. "Benar seperti kata kawan saya, Gus @sahaL_AS, bahwa Pak Jokowi telah melakukan De-Jokowisasi atas dirinya sendiri," cuitnya, lewat akun @ulil.
Ulil mengkritik Jokowi lantaran dianggap tidak mau mendengarkan publik. Keras, dia mengkritik pemerintahan saat ini. "Ini bukan Orde Reformasi. Ini adalah Orde Tuli. Orde yang ditandai dengan sikap pemerintah yang makin insuler, 'self-contained', ndak mau mendengarkan publik. Yang didengar hanya kartel oligarki. Ya, saya pakai istilah ini: OLIGARKI," tegasnya.
Dia mengaku senang lantaran dua ormas Islam terbesar Indonesia, NU dan Muhammadiyah, berpihak pada masyarakat yang menolak UU Ciptaker. "They are on the right side of history!" puji Ulil.
Pendukung Jokowi lainnya, Abdillah Toha juga kecewa. Dia menyayangkan, masukan para guru besar dan intelektual kampus soal UU Ciptaker tak didengarkan Jokowi.
"Presiden @Jokowi bilang oposisi terhadap UU Cipta Kerja karena banyak hoax. Benar banyak hoax beredar tapi apa pak Jokowi mau bilang bahwa keberatan banyak intelektual dan petinggi universitas juga berdasar hoax? Saya kira tidak. Menurut saya pemerintah telah gagal dalam komunikasi public," cuit @ AT_AbdillahToha, kemarin.
Sebelum mereka, Jokower lain, Ernest Prakasa juga mengkritik Jokowi lewat akun Twitternya, @ernestprakasa. "Apalah kita ini bagi para pemimpin nan mulia, selain deretan angka. Angka korban pandemi, angka pengangguran, angka pemilih para kandidat. Angka dan angka dan angka. Tanpa jiwa, tanpa suara," cuit komika ini.
Setelah mereka, siapa lagi Jokower yang akan ganti kulit? Pengamat Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio tak yakin akan ada lagi pendukung yang mengikuti jejak mereka. "Mereka sudah cukup puas dengan penjelasan Jokowi dalam konferensi pers kemarin. Sulit mengubahnya," ujarnya semalam.[]