GELORA.CO - Direktur Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengatakan, format subholding di dalam tubuh Pertamina harus menjadi perhatian serius. Pasalnya, peraturan dan mekanisme subholding yang belum jelas dan belum tuntas, tapi direksi subholdingnya sudah dilantik, sehingga menjadi wajar apabila subholding ini mengancam kedaulatan Negara.
Dia menjelaskan, dalam proses restrukturisasi holding dan pembentukan Subholding-Subholding, Pertamina mengkonsultasikannya kepada Price waterhouse Coopers (PwC), sebuah Konsultan Management/Akuntan Publik Amerika.
Dan untuk pembuatan kajian hukum ditunjuklah Melli Darsa & Co. , Advocates and Legal Consultants Indonesia yang berafiliasi dengan PwC. PwC sendiri terlibat sejak persiapan hingga proses pembentukan subholding, bahkan masih terlibat dalam proses sosialiasi dan pengorganisasian subholding hingga sekarang ini.
"Setelah Pertamina merugi 11 Triliun, Format subholding dalam Pertamina seperti langkah emosional, perusahaan besar plat merah tersebut seperti perusahaan yang ingin mendapatkan pendapatan lebih seperti emak-emak yang menggebu-gebu untuk berdagang, berharap keuntungan lebih, tapi konsep dan perencanaannya tidak jelas," kata Uchok dalam Konferensi Pers di Jakarta, Jumat (2/10/20).
Dijelaskannya, bahwa dalam kajiannya, Price waterhouse Coopers (PwC) tidak menjadikan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas sebagai salah satu dasar/rujukan dalam memberikan pertimbangan mengenai pembentukan Subholding, khsusunya Pasal 127 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
"Dengan demikian kajian yang dibuat tidak cermat dan bertentangan dengan undang-undang," ujarnya.
Selain itu juga Komisaris maupun Direksi sebelum membentuk subholding, tidak juga melakukan tahapan-tahapan sebagaimana ketentuan Pasal 127 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, sehingga tindakan Komisaris maupun Direksi dalam pembentukan subholding juga telah salah.
"Karena Subholding sudah terlanjur terbentuk sementara asset dan bisnis tetap di Holding (Induk Perusahaan), akhirnya terpaksa diintrodusirlah istilah baru yang sama sekali tidak pernah ada di literatur bisnis manapun, tidak pernah dipelajari dalam sekolah bisnis manapun di seluruh dunia, bahkan tidak pernah ada dalam praktek bisnis korporasi di seluruh dunia, yaitu Subholding Virtual sebagai lawan dari istilah subholding Legal (asset, saham dan bisnis berpindah ke subholding). Terjemahan gampangnya dari Subholding Virtual adalah Subholding Abal-Abal alias Subholding Khayalan," bebernya.
"Perusahaan terbesar dan terkompleks di Indonesia jadi mainan ambisi Ahok dan Erick Thohir. Erick Thohir punya kontribusi besar dan paling bertanggungjawab atas kekacauan yang terjadi karena menghapuskan Direktorat Teknis Operasional tapi tanpa mengalihkan asset, saham dan bisnis serta wewenang ke Subholding," tambahnya.
Selain itu, hilangnya posisi Deputi di Kementrian BUMN selaku pembina teknis, yang tahu lebih detail proses bisnis dan aspek korporasi dari masing-masing BUMN, khususnya Pertamina. Tidak ada lagi yang bisa memberi masukan secara jernih kepada Menteri BUMN.
"Inilah yang menjadi penyebab yang mengakibatkan Erick Thohir yang selama ini mengembar gemborkan penerapan Good Corporate Governance (GCG) di BUMN, transparansi dan Akhlak, terjerumus dan terjebak sendiri dengan prinsip-prinsip dasar yang dia kembangkan akibat tidak adanya fungsi kendali ke Ahok, dengan membentuk Subholding Pertamina secara ugal-ugalan, tanpa melaksanakan GCG, berpotensi melanggar hukum bahkan sampai menjadikan Pertamina sebagai gajah percobaan," ungkapnya.
Menurutnya, terjadi komplikasi aspek legal dan aspek bisnis yang sangat luar biasa yang memiliki daya rusak tinggi dengan implementasi Subholding Virtual Abal-Abal ini karena mengejar ambisi dari Komisaris Utama Ahok demi pencitraan keberhasilan dia di Pertamina.
Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Aliansi Lembaga Analisis kebijakan dan Anggaran (ALASKA) Adri Zulpianto mengatakan, selain kerugian Pertamina yang mencapai Rp11 Triliun kekacauan dan kehancuranlah akibat yang diterima apabila seorang yang tidak mengerti dan tidak memiliki pengalaman dalam bisnis korporasi besar sama sekali, apalagi sebesar dan sekompleks Pertamina namun berani memberi arahan dan memberi instruksi agar pembentukan Subholding untuk segera diimplementasikan, bahkan di masa Pandemi Covid-19.
Dia menyayangkan, di saat perusahaan minyak lain berusaha bertahan dengan dampak Covid-19 ini, Pertamina malah hura-hura dengan meluncurkan konsep restrukturisasi Subholding-Subholding dan pengenalan budaya baru dan akhlak.
"Bagaimana Komisaris bisa berfungsi menjalankan pengawasan kalau background-nya aja gak ada yang dari bisnis perminyakan. Ya inilah hasilnya, subholding abal-abal mengkhayal virtual. Dewan Komisaris cocoknya jadi Dewan Komisaris virtual abal-abal. Akhirnya ketularan sampai organ di bawah Dewan Komisaris juga, Komite Audit jadi Komite Audit Virtual abal-abal dan Komite Investasi juga jadi Komite Investasi Virtual abal-abal. Ini merupakan suatu ironi besar. Wajar saja hal ini terjadi karena Menteri BUMN juga tidak mengerti bisnis migas," paparnya.
"Ada ide untuk meng-go-public-kan (Initial Public Offering / IPO) perusahaan di upstream (hulu). Perusahaan upstream sudah mendapatkan keistimewaan dari negara melalui pemberian ladang minyak, wilayah kerja terbuka melalui penunjukan langsung ke Pertamina, lalu saham anak cucu Pertamina yang menjadi pengelola wilayah kerja itu dijual sahamnya di Bursa Efek? Ini seharusnya tidak akan terjadi," sambungnya.
Ditegaskannya, Pertamina mendapat keistimewaan tunjuk langsung itu karena 100 persen milik negara, tidak mungkin perusahaan yang ditunjuk mengoperasikan ladang minyak itu mau dijual ke bursa. Jika itu terjadi, kata dia, maka perusahaan menjadi full swasta.
Memang, lanjut dia, untuk melakukan IPO, tidak ada aturan yang melarang atau membatasi Subholding yang bergerak di bidang hulu dan hilir migas. Pertamina mendapat keistimewaan itu karena 100 persen sahamnya milik negara, karena Pertamina mengelola keayaan alam Negara dan secara langsung maka Pertamina mendapat mandat dari UUD 1945, sehingga konsekuensi seterusnya secara keseluruhan asset pertamina harus tetap milik Negara.
"Bukan hanya Pertamina saja, tapi subholding maupun anak perusahaan subholding yang ditunjuk Pertamina mengelola wilayah kerja hulu migas, sehingga hasil tunjuk langsung itu harus tetap 100 persen milik negar /milik Pertamina," terangnya.
Dia menegaskan, jika Undang-undangnya tidak mengatur IPO dan pembatasan subholding, bukan berarti Pertamina boleh melakukan IPO atau subholding seenaknya, melainkan Undang-Undangnya yang harus mengikuti UUD 1945, bahkan seharusnya UU nya yang harus diubah, atau dibatalkan demi hukum.
"Ini kan logika dasar hukum kita, masa iya sekelas pertamina yang sudah menyewa konsultan publik Amerika, urusan seperti ini tidak faham," ujarnya.
Berdasarkan hal itu, masyarakat sipil yang bergabung Dalam CBA (Center for Budget Analysis), Kaki Publik, dan Alaska akan mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum terhadap Price Water House Coopers, kantor Hukum Meli Darsa & Co, Menteri Badan Usaha Milik Negara, PT. Pertamina (Persero) baik Komisaris maupun Direksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Gugatan kami, akan didampingi kuasa hukum Riando Tambunan SH, dari kantor Hukum Sihaloho & Co, dan menyatakan bahwa Perbuatan Melawan Hukum dimaksud adalah terkait adanya kelalaian Price Water House Coopers dan Meli Darsa & Co dalam membuat kajian managemen dan kajian hukum yang menjadi dasar restrukturisasi holding dan pembentukan subholding di tubuh PT. Pertamina (Persero)," ungkapnya.
"Kelalaian dimaksud adalah dengan tidak melakukan review dan analisa secara menyeluruh dalam produk kajian hukumnya, salah satunya dengan tidak mempertimbangkan dasar hukum spin off dalam UU Perseroan Terbatas (UU Nomor 40 Tahun 2007), yang mengakibatkan produk kajian hukum tersebut menjadi cacat hukum," pungkasnya. []