GELORA.CO - Hubungan Moeldoko dan Gatot Nurmantyo tengah memanas. Kepala Staf Presiden di Kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu menyindir Gatot yang saat ini memposisikan diri sebagai oposisi pemerintah. Seperti apa hubungan dua jenderal purnawirawan itu?
Moeldoko dan Gatot Nurmantyo terpaut satu angkatan sebagai perwira TNI AD. Moeldoko merupakan lulusan Akmil 1981, sementara Gatot Nurmantyo adalah lulusan Akmil 1982.
Gatot menggantikan Moeldoko sebagai Panglima TNI pada 8 Juli 2015. Atas pilihan Presiden Jokowi, Gatot menggantikan Moeldoko yang memasuki masa pensiun. Soal pilihan Gatot sebagai gantinya, Moeldoko tidak memberikan pro maupun kontra.
"Setiap orang memiliki kemampuan, setiap orang memiliki kelebihan, ya," ujar Moeldoko saat ditanya mengenai dipilihnya Gatot sebagai Panglima TNI pengganti dirinya, pada 12 Juni 2015.
Moeldoko juga enggan menjawab saat ditanya syarat-syarat apa yang belum dipenuhi Gatot untuk menjadi Panglima TNI. "Kok tanya saya lho, nantikan saat fit and proper test ketahuan semuanya. Tunggu sajalah," sebutnya.
Kemudian, Gatot dilantik menggantikan Moeldoko pada 8 Juli 2015, setelah mendapat persetujuan dari DPR. Moeldoko turut hadir dalam pelantikan Gatot di Istana Negara oleh Presiden Jokowi.
Moeldoko pun memberikan pesan kepada Gatot yang menjadi penggantinya. Ia berharap Gatot mampu lebih meningkatkan sumber daya manusia serta profesionalitas di tubuh TNI. Penguatan intelijen TNI juga diharapkan tetap dilakukan.
"Ya diharapkan bisa lebih meningkatkan lagi sumber daya manusia serta profesionalitas pada tubuh TNI sendiri. Serta penguatan intelijen TNI diharapkan juga tetap dilakukan," jelas Moeldoko, usai pelantikan Gatot sebagai Panglima TNI.
Serah terima jabatan antara Moeldoko dan Gatot dilakukan pada 14 Juli 2015 di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur. Dalam kesempatan itu, Gatot menyatakan dirinya telah tiga kali menerima penyerahan jabatan dari Moeldoko.
"Ini tradisi saya dengan Pak Moeldoko, ini sertijab yang ketiga saya (dengan Moeldoko)," ungkap Gatot.
Sebelum menerima jabatan sebagai panglima TNI, Gatot pernah menerima jabatan dari Moeldoko sebagai sespri Wakasad pada tahun 1998. Selanjutnya Gatot dan Moeldoko melakukan sertijab sebagai Komandan Brigif-1/Jaya Sakti pada tahun 1999.
Untuk itu Gatot menyatakan apa yang diamanatkan Moeldoko untuk meneruskan visi dan misinya sebagai panglima TNI, dianggapnya sebagai tugas. Terutama mengenai rencana strategis (resntra) kedua yang telah disusun saat Moeldoko masih menjabat sebagai panglima TNI.
"Pertama bahwa TNI kuat, solid karena dibangun oleh pemimpin terdahulu, landasan yang terbentuk. Ini saya anggap sebagai tugas," kata Gatot.
Meski begitu, bukan berarti Gatot hanya akan menerima mentah-mentah apa yang telah ada. Ia akan mengevaluasi terlebih dahulu apa yang menjadi prioritas menurutnya.
"Mengevaluasi apa hal-hal prioritas Jenderal Moeldoko yang dihadapkan ke perkembangan ke depan," tuturnya.
Usai pensiun, Moeldoko kemudian sempat aktif di politik bersama Partai Hanura. Sementara Gatot melanjutkan tugasnya sebagai Panglima TNI.
Namun kemudian, hubungan Gatot dengan Presiden Jokowi memanas di tahun 2017 lantaran Gatot dinilai bermain politik di saat dirinya masih menjabat sebagai Panglima TNI. Ini terjadi jelang Pilpres 2019.
Gatot kemudian diganti dari posisinya sebagai Panglima TNI, beberapa bulan sebelum masa pensiunnya.
Di saat hubungan Gatot dan Jokowi memanas, hubungan Jokowi dan Moeldoko justru menghangat. Moeldoko diangkat sebagai Kepala Staf Kepresidenan pada awal Januari 2018.
Gatot sempat disebut-sebut akan maju di Pilpres 2019, namun sayangnya tidak berhasil. Tak ada partai yang mengusung Gatot saat itu.
Kemudian, nama Moeldoko dan Gatot Nurmantyo sempat dikabarkan akan menjadi Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) pasangan capres-cawapres Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin. Isu tersebut disampaikan oleh politikus Golkar Bambang Soesatyo yang kala itu mengaku mendapat informasi nama ketua timses Jokowi.
"Ya bisa. Bisa Gatot, bisa Pak Moeldoko dan bisa yang lainnya," kata Bamsoet saat ditanya nama ketua timses Jokowi-Ma'ruf.
Moeldoko sempat mengomentari kabar Gatot masuk dalam timses Jokowi. Moeldoko mengaku dukungan yang akan diberikan Gatot ke Jokowi-Ma'ruf Amin itu merupakan hal yang positif. Namun dia mengaku belum mendapat pernyataan resmi dari pihak Gatot.
"Semua yang memberikan dukungan positif kan," kata Moeldoko di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (23/8/2018).
Moeldoko juga mengaku tidak tahu apakah ada 'lobi-lobi' masuknya Gatot ke kubu Jokowi-Ma'ruf Amin. Sejauh ini, belum ada komunikasi terkait hal itu dengan dirinya.
"Ya nggak tahu melalui saluran mana ya," tuturnya.
Namun akhirnya, Jokowi memilih Erick Thohir sebagai tim suksesnya. Sementara Gatot Nurmantyo memilih berada di kubu Prabowo Subianto, yang menjadi kubu Jokowi saat itu.
Hal tersebut terlihat saat Prabowo mengenalkan orang-orang yang akan membantunya di pemerintahan jika memenangi Pilpres 2019. Pengumuman itu disampaikan Prabowo dalam pidato kebangsaannya di Dyandra Convention Center, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (12/4/2019). Gatot datang dalam acara tersebut. Selain Gatot, ada juga nama seperti Rocky Gerung hingga Fahri Hamzah.
"Saya tidak pernah cek mereka partai mana, ada yang profesional, ada yang bisa pakai dasi, ada yang nggak bisa, ada anak-anak muda juga. Tapi kita bergabung secara alamiah. Saya tidak bikin iklan dicari putra-putri terbaik, mereka datang sendiri," sebut Prabowo saat itu.
Gatot Nurmantyo mengaku datang atas permintaan langsung Prabowo. Ia sempat diminta berbicara di atas podium acara pidato kebangsaan Prabowo.
"Saya datang ke sini tidak lain karena bangsa memanggil untuk negara dan rakyat Indonesia atas telepon dari beliau, Bapak Prabowo meminta saya hadir dan bicara masalah kebangsaan di sini," ujar Gatot.
Bila Gatot berada di barisan Prabowo, Moeldoko tetap setia bersama Jokowi. Bahkan di Pilpres 2019, Moeldoko menjadi salah satu Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin.
Lama tak tampak komunikasi di muka publik, Moeldoko mulai 'menyerempet' Gatot. Tampaknya Moeldoko mulai gerah dengan aksi juniornya yang kerap menyerang pemerintahan Jokowi. Moeldoko menyindir Gatot yang menjadi deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia atau KAMI.
"Mereka itu bentuknya hanya sekumpulan kepentingan. Silakan saja, tidak ada yang melarang. Kalau gagasannya bagus, kita ambil. Tetapi kalau arahnya memaksakan kepentingan, akan ada perhitungannya," kata Moeldoko dalam keterangan tertulisnya, Kamis (1/10/2020).
Moeldoko menanggapi pendapat bahwa hadirnya KAMI memanaskan suhu politik di Indonesia. Moeldoko menyatakan kehadiran suatu gerakan tak perlu ditanggapi secara berlebihan.
"Dinamika politik selalu berkembang. Tidak ada namanya dinamika yang stagnan. Setelah ada KAMI, nanti ada KAMU, terus ada apa lagi, kan? Kita tidak perlu menyikapi berlebihan sepanjang masih gagasan-gagasan," ucap Moeldoko.
Tak hanya itu, Moeldoko angkat bicara mengenai pernyataan Gatot yang merasakan kebangkitan PKI sejak 2008. Moeldoko meyakini tidak mungkin ada peristiwa yang tiba-tiba datang.
"Saya sebagai pemimpin yang dilahirkan dari akar rumput bisa memahami peristiwa demi peristiwa. Mengevaluasi peristiwa demi peristiwa. Tidak mungkin datang secara tiba tiba. Karena spektrum itu terbentuk dan terbangun tidak muncul begitu saja. Jadi jangan berlebihan sehingga menakutkan orang lain. Sebenarnya bisa saja sebuah peristiwa besar itu menjadi komoditas untuk kepentingan tertentu," kata Moeldoko
Terakhir, Moeldoko berbicara menyindir soal aktor politik dan ambisi bisa mempengaruhi perubahan sikap seorang pensiunan TNI. Ia memang tak menyebut nama, namun tampaknya Moeldoko sedang membicarakan Gatot.
Moeldoko mulanya menjawab pertanyaan soal seorang mantan Panglima TNI yang bicara isu kebangkitan PKI. Menurut Moeldoko, isu ini bisa dilihat dari faktor kepentingan. Moeldoko lalu ditanya apakah kehebohan yang terjadi saat ini hanya untuk kepentingan pribadi atau tidak.
"Saya melihat lebih cenderung ke situ (kepentingan pribadi). Kita ini mantan-mantan prajurit, memiliki DNA yang sedikit berbeda dengan kebanyakan orang. DNA intelijen, DNA kewaspadaan, DNA antisipasi, dan seterusnya," kata Moeldoko.
"Saya tidak ingin menyebut nama, tetapi kan tujuannya membangun kewaspadaan. Kewaspadaan kita bangun untuk menenteramkan keadaan. Bukan malah untuk menakutkan. Bedanya di situ," imbuhnya.
Moeldoko kemudian bicara soal Sapta Marga di jiwa prajurit dan mantan prajurit TNI. Dia mengaku tidak yakin Sapta Marga seorang pensiunan TNI masih 100 persen jika sudah tercampur dengan kepentingan-kepentingan.
"Saat kita masih berstatus sebagai prajurit, kita terikat dengan Sapta Marga dan sumpah prajurit. Itu begitu kuat. Tapi, begitu seseorang pensiun, otoritas atas pilihan-pilihan itu melekat pada masing-masing orang," jelas Moeldoko.
"Kalau kepentingan tertentu itu sudah mewarnai kehidupan yang bersangkutan, saya jadi tidak yakin kadar Sapta Marga-nya masih melekat 100 persen karena dipengaruhi kepentingan-kepentingan. Tergantung dari orang yang bersangkutan. Seseorang bisa berbeda kalau sudah bicara politik, bicara kekuasaan, bicara achievement, karena ada ambisi," ucap Moeldoko. (*)