GELORA.CO - Buruh dan mahasiswa turun ke jalan menolak Omnibus Law Cipta Kerja. Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan (Unpar) Asep Warlan Yusuf menilai Omnibus Law Cipta Kerja bisa ditunda bahkan dibatalkan.
"Ada RUU yang ditunda karena kesiapan kita untuk menjalankan itu tidak memungkinkan, di tunda lima tahun atau beberapa tahun untuk pemberlakuan pelaksanaan undang-undang," katanya via sambungan telepon, Rabu (7/10/2020).
Asep juga mengungkapkan, Omnibus Law Cipta Kerja juga bisa dibatalkan, tapi jika dibatalkan pemerintah akan kehilangan muka.
Membatalkan boleh, lebih bagus, tapi pemerintah akan kehilangan muka setelah diketok kok dibatalkan. Itu pemerintah sangat-sangat tidak memiliki wibawa dan tidak cermat dan memiliki perencanaan yang baik," ungkapnya.
Menurutnya secara resmi buruh bisa mengajukan uji materil atau uji formil ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, Presiden Joko Widodo juga bisa membentuk eksekutif review.
"Ekseskutif review, presiden membentuk tim yang independen dan obyektif, rasional, kompeten untuk menguji ini bagaimana seharusnya bersikap. DPR pun juga boleh membentuk legislatif review, melakukan kajian sebelum ini dibatalkan atau ditunda untuk dilakukan eksekutif review dan legislatif review sebelum judicial review, itu bagian dari pemerintah yang responsif, pemerintah yang bisa mengakomodir keputusan publik dan yang mereview itu para ahli," jelasnya.
Asep juga menyebut, untuk Omnibus Law Cipta Kerja ada dua topik yang dipersoalkan yakni proses yang tidak partisipatif dan substansi yang sarat kontroversi.
"Ada dua topik besar yang dipersoalkan, pertama prosesnya yang tidak partisipatif, proses yang tidak transparan, tidak dapat kajian luar biasa bagi publik terkait undang-undang ini. Bahkan ahli pun sangat terbatas untuk dilibatkan dalam proses ini," paparnya.
Menurunkan jika banyak element dilibatkan, mungkin resistensinya akan kecil, dan buruh tahu isinya, manfaat, dapat dipahami dari awal Omnibus Law Cipta Kerja ini.
"Karena Undang-undang Cipta Kerja juga banyak yang positif, akan sangat tertutup karena proses tidak transparan dan tidak partisipatif sehingga ada anggapan publik itu akal-akalan saja untuk keberpihakan kepada investor, tidak berpihak kepada pekerja, tidak berpihak pada lingkungan dan sebagainya," ucapnya.
"Kedua subtansi, subtansinya itu memang banyak yang kontoversial, lagi-lagi karena kurangnya komunikasi, kurang penjelasan, lagi-lagi pemerintah dengan sepihak mengatakan ini bagus kok, ini penting kok, hal-hal itu tidak akan nyambung kalau publik tidak tahu isinya mengapa begitu dan apa alasannya. Kalau itu semua tidak dijelaskan, bagaimana mereka setuju dengan statmen itu adalah kebaikan," pungkasnya.(dtk)