GELORA.CO - Serikat buruh langsung merespons manuver DPR yang rampung membahas RUU Cipta Kerja (Ciptaker) tingkat I pada Sabtu (3/10/2020) jelang tengah malam dengan mengancam menggelar unjuk rasa--beberapa serikat menyebutnya mogok nasional--pada 6-8 Oktober 2020. Pelaku bisnis pun waswas karena itu bakal berdampak pada aktivitas usaha.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bidang ketenagakerjaan Bob Azam mengatakan mogok akan semakin menyulitkan pelaku usaha yang sudah terpuruk karena pandemi COVID-19.
Mogok akan mengganggu sebagian aktivitas produksi yang buruhnya ikut serta. Bila terganggu, maka perusahaan tidak akan bisa memenuhi pesanan yang efeknya bisa mengganggu ekspor. Jika pesanan sampai terganggu, bukan tak mungkin perusahaan pembeli terutama dari luar negeri memutuskan kontrak.
Gangguan produksi juga bakal berdampak pada pemenuhan permintaan masyarakat. Di sisi lain, penurunan produksi juga berpotensi memengaruhi pendapatan perusahaan yang ujungnya turut menurunkan penerimaan negara dari pajak.
Belum lagi, pada September 2020 indikator kinerja manufaktur Purchasing Manager's Index (PMI) September 2020 sudah turun, yang salah satunya disebabkan PSBB DKI Jakarta jilid 2. Angkanya turun menjadi 47,2 poin padahal sempat mencapai 50,8 poin di Agustus 2020--berada di atas batas minimum 50 alias ekspansif.
“Ekonomi semakin terpuruk dan yang jadi korban buruh juga,” ucap Bob saat dihubungi, Senin (5/10/2020).
Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) mencatat per Mei lalu sekitar 57,1 persen perusahaan yang disurvei mengaku sudah mengalami penurunan pendapatan. Sekitar 39,4 persennya berhenti beroperasi. Survei BPS tentang dampak COVID-19 pada pelaku usaha per September mencatat pelaku usaha yang mengalami penurunan pendapatan lebih besar lagi, yaitu 82,85 persen.
Peneliti dari Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet mengatakan jumlah buruh yang akan mengikuti aksi mungkin hanya 2-5 juta alias 10-20 persen total pekerja industri pengolahan yang mencapai 18 juta orang. Namun, dampaknya akan terasa lantaran manufaktur seperti pabrik menyumbang 19,98 persen PDB per Q2 2020 lalu.
Belum lagi jika sebagian pekerja terpapar COVID-19 saat berada di keramaian. Hal ini tentu akan semakin memperparah dampak penurunan produksi yang dialami pelaku usaha.
“Dampak langsungnya tentu akan ada sektor produksi yang terganggu,” ucap Yusuf, Senin (5/10/2020).
Kalau Tak Mau Rugi, Ya Negosiasi
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengklaim akan ada 2 juta buruh anggota dari 3.000 pabrik di 25 provinsi bakal turun ke jalan. Jumlahnya bahkan mungkin bisa bertambah jadi 5 juta.
Presiden KSPI Said Iqbal sadar betul aksi mereka memang akan memukul para pelaku usaha. Dan memang itu tujuannya. “Kalau tidak dikehendaki ada kerugian lebih besar, ya direnegosiasi ulang apa yang sudah diputuskan dalam RUU Ciptaker,” ucap Said, Senin (5/10/2020).
Meski begitu ia mengatakan apa yang mereka lakukan sah secara hukum. Ia diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Pasal 4 menyebutkan fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan.
Iqbal menyebut poin-poin dalam RUU Ciptaker yang akan merugikan buruh. Sebut saja PHK, sanksi pidana bagi pengusaha, TKA, UMK dan UMSK, pesangon, karyawan kontrak seumur hidup, outsourcing seumur hidup, waktu kerja, hak cuti, serta jaminan kesehatan-pensiun.
100 ribu orang lain yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) akan melakukan aksi serupa. Nining Elitos, Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI), salah satu elemen dalam Gebrak, mengatakan jumlah itu merupakan gabungan dari buruh industri manufaktur, pelabuhan, BUMN, sekaligus mahasiswa dan masyarakat sipil dari sekurang-kurangnya 15 provinsi.
Nining lantas mengatakan lagi apa yang menyebabkan mereka menolak RUU Ciptaker dan turun ke jalan, baik dalam bentuk demonstrasi atau mogok. Menurutnya peraturan ini akan memudahkan PHK--yang diakui sendiri oleh pemerintah--tapi selalu dibalut retorika membuka lapangan kerja.
“Bagaimana mungkin omnibus law ingin menciptakan lapangan kerja dengan memudahkan PHK? Pasar kerja fleksibel sama dengan memaksa rakyat bekerja dalam perbudakan modern,” ucap Nining, Senin (5/10/2020).
Rencana mogok/aksi nasional dilayangkan buruh ketika DPR menyebut RUU Ciptaker bakal disahkan pada Kamis 8 Oktober. Namun dengan alasan Corona, DPR mempercepatnya menjadi kemarin, 5 Oktober. Belum ada konfirmasi apakah dengan keputusan itu demonstrasi/mogok tetap dilaksanakan atau batal.[]