GELORA.CO - Tiga hari ini, pro dan kontra pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja marak di tengah masyarakat.
Dua Ormas besar PP Muhammadiyah dan PBNU bahkan menolak UU tersebut.
Ribuan buruh di berbagai daerah turun ke jalan memprotes UU ini.
Di media sosial perbincangan soal UU Cipta Kerja tak kalah ramainya.
Bahkan tagar #tolakomnibuslaw, #MosiTidakPercaya, #DPRRIhiyanatirakyat, sempat jadi trending di twitter.
Bukti netizen ikut protes UU Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja telah disahkan oleh DPR pada sidang paripurna, Senin (5/10/2020).
UU Cipta Kerja merupakan usulan pemerintahan Jokowi dan dianggap berbagai kalangan merugikan buruh dan pekerja.
Dari pihak pemerintah, sejauh ini Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan dan Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah yang gantian memberikan tanggapan atas UU Cipta Kerja.
"UU Cipta Kerja mengutamakan hubungan tripatrit antara pemerintah, pekerja dan pengusaha dengan di keluarkannya jaminan, JKP atau jaminan kehilangan pekerjaan," ujar Airlangga.
Airlangga juga memastikan, konsepsi perlindungan, keselamatan, keamanan dan kesehatan lingkungan menjadi perhatian utama dalam klaster sumber daya alam di RUU Ciptaker.
Jokowi Kemana?
Namun demikian, Presiden Jokowi belum memberikan tanggapan atas polemik UU Cipta Kerja.
Hingga, Rabu (7/10/2020) pukul 15.30 WIB, Jokowi belum merespon soal UU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR.
Padahal biasanya Presiden memberikan keterangan pers dari istana presiden di masa pandemi covid-19.
Kemarin Presiden dikabarkan bertemu perwakilan buruh namun tidak ada penjelasan langsung dari presiden mengenai pertemuan itu.
Hanya Wakil Presiden Ma'ruf Amin yang memiliki agenda hari ini yakni Kampanye Virtual Gerakan Nasional ASN, yang digelar Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) Rabu (7/10/2020).
Diketahui, draf RUU Cipta Kerja diserahkan ke DPR oleh pemerintah pada Februari 2020 dan baru mulai dibahas pada 20 April 2020.
RUU usulan pemerintah ini cenderung dikebut dibahas di DPR.
Dikebutnya pembahasan RUU ini pun diakui oleh Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas.
Ia mengatakan anggota DPR bahkan sengaja bekerja 7x24 jam hingga menggunakan waktu reses untuk merampungkan pembahasan RUU ini.
Total, ada 64 kali rapat antara pemerintah dan DPR hingga akhirnya pembahasan beleid tersebut rampung. Ini terdiri atas 56 kali rapat panitia kerja dan enam kali rapat tim perumus atau tim sinkronisasi.
"Dilakukan mulai hari Senin sampai dengan Minggu, dimulai dari pagi hingga malam dini hari, bahkan masa reses pun tetap melaksanakan rapat baik di dalam maupun luar gedung atas persetujuan pimpinan DPR," kata Supratman saat membacakan laporan dalam Rapat Paripurna DPR beragendakan pengesahan RUU Cipta Kerja yang disiarkan Kompas TV, Senin (5/10/2020).
Andil Presiden
Perlu diketahui bahwa bukan hanya DPR yang mengebut pembahasan RUU ini. Namun, Presiden Joko Widodo turut memiliki andil di dalam cepatnya pembahasan produk legislasi tersebut.
Awalnya, Presiden Jokowi mengajak DPR untuk membuat dua undang-undang besar saat berpidato di hadapan anggota DPR usai dilantik untuk periode kedua.
"Pertama, Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Kedua, Undang-Undang Pemberdayaan UMKM," kata Jokowi di Gedung Parlemen, pada 20 Oktober 2019 lalu.
Saat itu, Jokowi menyebut kedua UU itu akan menjadi omnibus law, yaitu sebuah UU yang sekaligus merevisi puluhan UU lainnya.
Penyusunan UU itu dinilai penting untuk menyederhanakan sejumlah kendala regulasi yang ada, agar realisasi investasi di dalam negeri meningkat.
Rencana Jokowi pun didukung oleh partai politik pengusungnya. Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Johnny G Plate mengungkapkan, agar keinginan Jokowi terwujud dalam waktu cepat, usulan itu harus masuk ke dalam program legislasi nasional supaya pembahasannya mendapat prioritas.
Dikebut
Selanjutnya, saat berbicara pada kegiatan "Kompas 100 CEO Forum" pada 28 November 2019, Jokowi menyatakan, bahwa lolos tidaknya pembahasan omnibus law yang diusulkannya tergantung pada DPR.
Saat itu, ia menyebut, pemerintah telah menyisir 74 UU yang akan terdampak omnibus law. Pemerintah pun berencana menyerahkan draf omnibus law ke DPR pada Desember 2019 atau Januari 2020.
"Kami harapkan dengan undang-undang baru (omnibus law), kecepatan tindakan kita di lapangan akan kelihatan cepat dan tidaknya, tapi masih tergantung kepada persetujuan DPR kita. Kalau disetujui saya yakin akan ada perubahan yang besar dari regulasi yang kita miliki," kata Jokowi.
Dalam perkembangannya, tak hanya omnibus law tentang cipta lapangan kerja dan UMKM yang disiapkan pemerintah, tetapi juga terkait perpajakan. UU yang disisir pun bertambah menjadi 82 UU.
Selanjutnya, saat membuka kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di Istana Negara, pada 16 Desember 2019, Kepala Negara menyampaikan bahwa telah berkomunikasi dengan Ketua DPR Puan Maharani agar membantu pemerintah mempercepat pembahasan omnibus law tersebut.
"Sehingga kita ajukan langsung pada DPR, Bu Puan ini 82 UU sudah. Mohon segera diselesaikan. Saya bisik-bisik kala bisa Bu jangan sampai lebih dari tiga bulan," kata Jokowi saat itu.
Jokowi juga mengingatkan agar di dalam pembahasan RUU itu jangan sampai ada pasal titipan yang tidak sesuai dengan tujuan pemerintah. Hal itu ditegaskan saat ia membuka rapat terbatas di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat dengan topik pembahasan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja pada 27 Desember 2019.
Diketahui bahwa omnibus law Cipta Lapangan Kerja memiliki 11 klaster yang pembahasannya melibatkan 30 kementerian/lembaga. Draf RUU sapu jagat itu ditargetkan dapat diserahkan pada Januari dan diharapkan selesai pada April 2020.
Masuk prioritas pembahasan
Selanjutnya, di tengah ramainya polemik bocornya draf 'RUU Penciptaan Lapangan Kerja' yang dibantah oleh pemerintah, DPR menetapkan 50 RUU yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2020 pada 22 Januari 2020.
Empat di antaranya merupakan RUU dalam bentuk omnibus law, yaitu RUU Kefarmasian, RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU Ibu Kota Negara.
Setelah itu, pada 12 Februari, Presiden melalui Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyerahkan draf dan surat presiden (surpres) RUU Cipta Kerja ke DPR.
Ketua DPR Puan Maharani menyebut omnibus law Cipta Kerja terdiri atas 79 UU, 15 bab dan 174 pasal. Pembahasan RUU ini akan melibatkan tujuh komisi di DPR.
"Dan nantinya akan dijalankan melalui mekanisme yang ada di DPR. Apakah itu melalui Baleg atau Pansus karena melibatkan tujuh komisi terkait untuk membahas 11 kluster yang terdiri dari 15 bab dan 174 pasal," kata Puan.
Surpres itu akhirnya baru dibacakan di rapat paripurna DPR pada 2 April 2020. Pada saat itu disepakati bahwa pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja akan diserahkan kepada Badan Legislasi DPR.
Sempat minta tunda
Belakangan, Jokowi sempat meminta agar pembahasan klaster ketenagakerjaan di dalam RUU tersebut ditunda.
Permintaan itu muncul di tengah rencana ribuan buruh menggelar unjuk rasa menolak sejumlah pasal kontroversial di dalam klaster tersebut di sejumlah wilayah pada 30 April 2020.
Presiden mengungkapkan, penundaan juga dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada sejumlah pihak untuk mendalami lagi substansi dari pasal-pasal terkait serta mendapatkan masukan dari pemangku kepentingan.
"Kemarin pemerintah telah menyampaikan kepada DPR dan saya juga mendengar Ketua DPR sudah menyampaikan kepada masyarakat bahwa klaster Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja ini pembahasannya ditunda, sesuai dengan keinginan pemerintah," ujar Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, pada 24 April 2020.
Pada 18 Agustus, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa DPR membentuk tim perumus yang terdiri atas Panitia Kerja RUU Cipta Kerja Baleg DPR dan serikat buruh untuk membahas kelanjutan klaster ketenagakerjaan.
Namun, waktu singkat yang diberikan kepada tim perumus, yaitu pada 20-21 Agustus, untuk membahasnya diprotes oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.
Meski demikian, Presiden meyakini bahwa keberadaan RUU tersebut diperlukan untuk membangun budaya kerja baru yang efisien, transparan dan bebas korupsi.
"Sebuah tradisi sedang kita mulai yaitu dengan menerbitkan omnibus law," ujar Jokowi saat membuka Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (ANPK) secara virtual di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada 26 Agustus lalu.
"Satu undang-undang yang menyinkronisasikan puluhan undang-undang secara serempak, sehingga antar undang-undang bisa selaras memberikan kepastian hukum serta mendorong kecepatan kerja, dan inovasi, dan akuntabel, serta bebas korupsi," lanjut dia.
Akhirnya, pembahasan klaster ketenagakerjaan pun dilanjutkan. Tim perumus, sebut Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi, hanya butuh waktu dua hari, yaitu 25-27 September 2020, untuk menyelesaikan pembahasan klaster ketenagakerjaan.
Akrobatik DPR
Pada Sabtu (3/10/2020) sore, secara tiba-tiba beredar pesan singkat di grup awak media yang berisi rencana pengambilan keputusan tingkat satu antara Baleg DPR dan pemerintah atas RUU Cipta Kerja pada Sabtu malam.
Jadwal yang tidak biasa untuk pengambilan sebuah keputusan mengingat selama ini pembahasan RUU kerap memakan waktu lama bahkan hingga bertahun-tahun.
Akhirnya, pemerintah sepakat untuk membawa pembahasan RUU itu ke rapat paripurna DPR untuk disahkan.
Hanya dua fraksi yang diketahui menolaknya yaitu Fraksi PKS dan Fraksi Demokrat.
Rencana itu kemudian mendapat respons dari kelompok buruh. Mereka berencana menggelar aksi pada 6-8 Oktober untuk menolak pengesahan RUU Cipta Kerja.
Namun, DPR tak berhenti berakrobat. Senin, sekitar pukul 12.00 WIB, para anggota Badan Musyawarah DPR mendapat undangan rapat dadakan untuk mengikuti rapat Bamus pukul 12.30 WIB.
"Anggota banyak yang kaget. Saya di fraksi pun merasa ini sangat mendadak,” kata Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR Ledia Hanifa, seperti dilansir dari Kompas.id.
Dalam rapat Bamus DPR yang dihadiri pimpinan fraksi dan alat kelengkapan DPR tersebut, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin tiba-tiba menyampaikan agenda percepatan penutupan masa persidangan DPR I periode 2020/2021 dalam Rapat Paripurna DPR yang akan digelar Senin sore.
Di jadwal semula, rapat paripurna penutupan masa sidang baru akan digelar 8 Oktober.
Percepatan ini dilakukan karena saat ini banyak anggota DPR, tenaga ahli, dan anggota staf yang positif Covid-19.
"Jadi, pilihannya saat itu, DPR lockdown (ditutup) atau percepat rapat paripurna penutupan masa sidang sehingga anggota DPR reses ke daerah masing-masing," ujar anggota DPR dari Fraksi PKS, Amin AK, menceritakan suasana rapat Bamus.
Dengan percepatan itu, pengesahan RUU Cipta Kerja yang semula dijadwalkan pada 8 Oktober turut dipercepat mengikuti jadwal rapat paripurna pada Senin sore. []