GELORA.CO - Protes masyarakat yang terjadi dalam dua bulan terakhir membuat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD geleng-geleng kepala.
Pasalnya ada dua tudingan yang mengarah ke pemerintah dan saling bertolak belakang. Pertama adalah tudingan bahwa pemerintah pro dengan kebangkitan komunisme di tanah air.
Tudingan ini memang kerap muncul di bulan September, tepatnya jelang peringatan tragedi G30S/PKI.
Sebulan berselang, pemerintah dituding pro dengan kapitalisme. Tudingan ini muncul siring pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja oleh DPR pada Senin (5/10). Di mana UU Ciptaker dianggap sebagai gelaran karpet merah untuk para investor asing.
“Bulan September dalam ribut-ribut Film G.30.S/PKI Pemerintah dituding pro komunisme. Bulan Oktober karena ribut-ribur UU Ciptaker dituduh pro kapitalisme,” herannya dalam akun Twitter pribadi, Minggu (11/10).
Dia pu bertanya-tanya, teori apa yang bisa menjelaskan keadaan ini. Apalagi Indonesia menganut ideologi Pancasila.
“Teori apa yang bisa menjelaskan ideologi Pancasila kita? Mungkin kita perlu mempertimbangkan teorinya Fred Riggs tentang ‘Prismatic Society’,” tuturnya.
Prismatic society merupakan teori tentang masyarakat transisi. Setidaknya ada tidak ciri utama dari teori ini. Pertama adalah heteroginitas, yakni perbedaan dan percampuran yang nyata antara sifat-sifat tradisional dan modern. Pada masyarakat yang sedang berada dalam proses industrialisasi dan modernisasi, di mana yang lama dan yang baru berada dalam suatu campuran yang heterogen, kadang-kadang mempunyai kesan bahwa administrasi dapat dilihat sebagai hal yang terpisah.
Kedua ciri overlapping, yaitu gambaran kelaziman adanya tindakan antara berbagai struktur formal yang dideferensiasikan dan dispesialisasikan dengan berbagai struktur informal yang belum dideferensiasikan dan dispesialisasikan.
Ketiga ciri formalisme, yaitu menggambarkan adanya ketidaksesuaian dalam kadar yang cukup tinggi antara berbagai hal yang telah ditetapkan secara formal dengan praktik atau tindakan nyata di lapangan. Ketidaksesuaian antara norma-norma formal dengan realita.
Semakin formalistis situasi administrasi maka semakin kurang pengaruhnya terhadap perubahan perilaku yang sesuai dengan norma-norma yang digariskan. Sebaliknya, bila satu sistem sangat realistis, maka realisme tersebut dapat dicapai hanya melalui usaha yang terus-menerus untuk mempertahankan persesuaian.(RMOL)