GELORA.CO - Aksi unjuk rasa Tolak UU Cipta Kerja (8/10/20) yang dilakukan di berbagai titik di Kota Medan berujung ricuh, hingga terjadinya pengrusakan mobil milik Dinas PU Provsu di depan Kampus ITM Jalan Gedung Arca Medan.
Belum jelas bagaimana awalnya kericuhan itu bisa terjadi sehingga massa menjadi terprovokasi dan nekat merusak mobil tersebut.
Akibat kejadian itu Polrestabes Medan menetapkan tiga orang tersangka yakni MHB (21), FH (25) dan JO (23). MHB sendiri sudah ditangkap oleh Polrestabes Medan, sementara dua orang lainnya masih dalam pengejaran kepolisian.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut menemukan beberapa fakta terkait dengan penangkapan MHB dinilai cacat hukum hingga menjadi pemicu kericuhan pada aksi yang sedang diadakan oleh massa AKBAR Sumut di Bundaran SIB
Dalam siaran pers tertulisnya, Sabtu (24/10/2020), KontraS Sumut mengungkap ada lima fakta mengapa penangkapan itu dinilai cacat hukum.
Pertama, MHB ditangkapatas laporan Nomor LP/2510/X/2020/SPKT Restabes Medan tanggal 8 Oktober 2020, karena diduga terlibat melakukan pengerusakan Mobil milik Dinas PU Provsu pada aksi 8 Oktober di depan kampus ITM Medan. “Dia tiba-tiba diciduk pada saat aksi damai massa AKBAR Sumut berlangsung di Bundaran SIB pada tanggal 21 Oktober 2020 dan disangkakan Pasal 170 dan Pasal 406 KUHP,” jelas Ali Isnandar, Staf Advokasi KontraS Sumut.
Kedua, pada saat melakukan penangkapan polisi tidak menunjukkan Surat Tugas dan Surat Perintah Penangkapan. “Padahal MHB tidak dalam tertangkap tangan,” tegas Ali.
Ketiga, polisi berdalih menangkap MHB karena khawatir tersangka mengulangi perbuatannya dan memprovokasi aksi damai menjadi ricuh.
“Faktanya MHB duduk tertib di barisan massa, justeru akibat dari penangkapan sewenang-wenang itu massa yang awalnya berunjuk rasa secara damai menjadi terprovokasi karena melihat MHB ditangkap tanpa alasan yang jelas,” lanjutnya.
Keempat, Surat Perintah Penangkapan MHB diberikan kepada keluarganya pada tanggal 22 Oktober yaitu Surat Perintah Penangkapan Nomor: SP/888/X/RES.1.10/2020/Reskrim tertanggal 21 Oktober 2020.
Kelima, MHB membantah ikut melakukan pengrusakan, justru menurutnya kehadirannya melarang kawan-kawannya agar tidak melakukan pengrusakan.
“Dari fakta-fakta diatas, kami menilai penangkapan yang dilakukan terhadap MHB sesungguhnya cacat hukum mengingat Surat Penangkapan seharusnya diberikan pada MHB pada saat penangkapan dilakukan,” ungkap Ali.
Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan “Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa”.
Ali membeberkan, penangkapan tanpa surat penangkapan boleh saja dilakukan kepolisian berdasarkan Pasal 18 ayat(2) KUHAP hanya apabila tersangka tertangkap tangan.
“Sementara dalam kasus MHB dia tidak dalam tertangkap tangan. Jika dihitung, penangkapan dilakukan 14 hari sesudah kejadian. Dengan waktu yang begitu panjang harusnya polisi sudah mengantongi Surat Tugas dan Surat Penangkapan yang dapat ditunjukkan. Oleh karena penangkapan MHB tersebut cacat hukum, sebaiknya kepolisian segera membebaskannya,” tegasnya.
Ali menambahkan, akibat dari penangkapan MHB tersebut, aksi damai yang dilakukan AKBAR Sumut menjadi terciderai dan dinilai anarkis serta dicap buruk oleh masyarakat umum. “Padahal kericuhan itu akibat kepolisian yang tidak profesional pada saat menjalankan tugasnya. Kami menduga kepolisian sengaja menangkap MHB ditengah aksi damai berlangsung untuk merusak citra gerakan rakyat yang sedang memperjuangkan haknya,” pungkasnya.[psid]