GELORA.CO - Kebijakan Kementerian Kesehatan RI yang menetapkan harga maksimal rapid test di Indonesia sebesar Rp 150 ribu masih dianggap sebagai cari untung semata. Sebab, harga per strip alat rapid test jauh di bawah harga yang dipatok Pemerintah.
"Kebijakan dan harga Rapid Test dalam surat edaran Menkes Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tanggal 6 Juli 2020, itu membantu masyarakat atau cari untung?" tanya Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha), Azmi Syahputra, Senin (5/10).
Hal ini ditegaskan Helmi karena disparitas harga yang sangat jauh dari 'modal' alat rapid test dengan biaya yang dipatok Kemenkes RI.
"Karena sebenarnya harga alat test itu satuannya, per stripnya, cuma berkisar tiga ribu sampai lima ribuan rupiah," sambungnya.
Menurut Helmi, misi kebijakan Kemenkes semestinya untuk kemanusiaan dan upaya menjaga kesehatan masyarakat. Namun, kenyataan di lapangan sudah lari dari tujuan.
Karena ternyata fungsi dan tujuan dari rapid test sudah tidak relevan lagi. Kini rapid test jadi syarat administratif bagi untuk bisa beraktivitas.
Hal ini bisa dilihat di beberapa stasiun atau bandara yang membuat tempat rapid test. Pengelola stasiun atau bandara menjadikan hasil rapid test sebagai syarat administratif, sebagai sarana mencari keuntungan.
"Jangan sampai BUMN ikut dalam permainan profit taking, karena harga rapid test di area BUMN termasuk mahal. Karenanya disarankan pemerintah melalui Kemenkes harus segera mencabut kebijakan penetapan harga rapid test covid tersebut yang sudah kurang relevan dan ambil langkah terobosan yang nyata," ucap Helmi.
Helmi pun memamarkan, kebijakan Kemenkes yang kurang efektif justru banyak dimanfaatkan oleh para pelaku usaha. Terutama 'didukung' dengan penetapan harga yang semata hanya untuk meraih untung besar.
Sehingga, seolah ada "pihak yang bermain" dalam siklus finansial. Terutama bagi pengusaha rapid test ini dijadikan ajang komersialisasi.
"Ini sudah enggak logis, pemeritah lalai mengawasi. Kebijakan ini jelas tidak efektif, malah hanya kesannya cuma bisnis semata melalui harga yang ditetapkan Menkes. Bukan untuk membantu masyarakat," tegas Helmi.
"Ini malah jadi membingungkan masyarakat. Dengan situasi begini banyak rumah sakit atau warga masyarakat yang butuh alat rapid test dengan jumlah besar, karena sekarang jadi sarana administrasi. Di lain sisi, banyak pengusaha pelayanan kesehatan yang menetapkan sendiri harga rapid test," imbuhnya.
Padahal, lanjut Helmi, jika fungsi ini bisa dibuat lebih efektif, bukan semata hanya untuk cari keuntungan sehingga harga bisa lebih ditekan, budget bisa dialihkan oleh pemerintah atau warga untuk dana yang lain termasuk kebutuhan yang lebih tepat.
"Karena saat ini negara butuh ekonomi bergerak, namun masyarakat harus mengeluarkan uang ekstra untuk rapid test yang sifatnya sementara dan kurang maksimal fungsinya," tandasnya. [rmol]