GELORA.CO - Mantan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyoroti tentang kasus penangkapan dua deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat.
Melalui Instagramnya, Fahri juga mengungkapkan tentang sosok Syahganda dan Jumhur yang telah dikenalnya sejak 30 tahun lalu hingga membahas tentang "crime control" yang dahulu ditentangnya dalam pemberantasan korupsi yang dianut KPK sebelumnya.
Dalam postingan pada Kamis 15 Oktober 2020, politikus Partai Geloran Indonesia ini mengungkapkan jika berdasarkan "abjad" kriminalitas, seharusnya yang ditangkap lebih dahulu adalah orang-orang yang terekam dalam CCTV sebagai perusuh.
Berikut postingan Fahri Hamzah di akun Instagramnya:
Pak Presiden dan Pak Kiai, Kenapa Harus Semua Berakhir di BUI?
Kalau penguasa mau mendengar, Jumhur dan Syahganda jangan ditangkap. Mereka adalah alumni ITB yang idealis. Saya kenal keduanya sudah sejak 30 tahun lalu. Mereka adalah teman berdebat Yang berkwalitas. Mereka dl korban rezim orba yg otoriter. Kok rezim ini juga mengorbankan mereka?
Dulu saya menentang teori “crime control” dalam pemberantasan korupsi yang dianut KPK sebab saya khawatir ini akan jadi mazhab penegakan hukum di negara kita. Saya bersyukur melihat KPK lembali ke jalan hukum tapi sedih dengan ideologi lama itu di prektikkan penegak hukum lain.
Inti dari “crime control” adalah penegakan hukum yg mendorong “tujuan menghalalkan cara” atau “end justifies the means”. Penegak hukum menganggap menangkap orang tak bersalah agar tercipta suasana terkendali. Padahal kedamaian dan ketertiban adalah akibat dari keadilan.
Kalau melihat abjad dari kriminalitasnya, yang harus ditangkap duluan ya orang-orang yang terekam CCTV itu sebagai perusuh.
Bukan kritikus Yang berjasa bagi demokrasi. Kalau kritik mereka dianggap memicu kerusuhan, kenapa tidak tangkap 575 anggota DPR yang bikin UU berbagai versi yang kemudian bikin rusuh?
Ayolah, mari kembali kepada yg benar bahwa kegaduhan publik ada dasarnya. Kerusuhan dan pengrusakan fasilitas publik adalah kejahatan. Tapi kejahatan dan kritik tidak tersambung. Kriminalitas akarnya adalah niat jahat. Tapi kritik muncul sbg respon atas tata kelola yang gagal.
Hukum tidak boleh menyasar para pengritik sementara perusuh dan vandalime belum diselesaikan. Apalagi menuduh mantan presiden segala. Sungguh suatu tindakan yang sembrono dan tidak punya etika. Mau apa sih kita ini? Mau adu domba siapa lagi? Mau ngerusak bangsakah kita?
Malam ini dari kampung yg sepi saya bersedih. Rasanya ada yang aneh di seputar kekuasaan. Ada agenda yang menurut perasaan saya bukan agenda pemerintahan yang sah. Tapi kita semua hanya bisa menduga tak bisa menyebut nama sebab sebagai rakyat, salah ketik bisa masuk penjara.
Saya hanya bisa kirim doa kepada pak presiden & pak kyai. Semoga bisa jernih meliha realitas ini. Kita tidak bisa begini.