GELORA.CO - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menggaungkan kembali kritiknya terhadap rencana Presiden Prancis Emmanuel Macron yang telah membuat undang-undang yang dikatakannya untuk membendung separatisme Islam. Pernyataan itu disampaikan Erdogan dalam sebuah pidato yang direkam untuk KTT Organisasi Kerjasama Islam (OKI) pada Selasa (20/10).
Dalam pidatonya, Erdogan mengkritik inisiatif Macron untuk mereformasi Islam, dengan mengatakan bahwa dia menggunakan krisis yang menjadi tanggung jawab negaranya sebagai alasan untuk menyerang agama tersebut.
“Tujuan utama dari inisiatif yang dipimpin oleh Macron adalah untuk menyelesaikan masalah lama dengan Islam dan Muslim,” kata Erdogan, seperti dikutip dari Daily Sabah, Selasa (20/10).
"Mereka yang terusik dengan kebangkitan Islam, menunjukkan krisis yang mereka ciptakan sendiri sebagai alasan untuk menyerang agama kami. Retorika anti-Muslim, Islam saat ini adalah alat yang paling berguna dari politisi Barat untuk menutupi kegagalan mereka sendiri," lanjutnya.
Pekan lalu, Macron berpendapat bahwa 'separatisme Islam' bermasalah, dan menambahkan bahwa: "Masalahnya adalah ideologi yang mengklaim hukumnya sendiri harus lebih unggul dari yang ada di Republik."
Pada 2 Oktober, Macron meluncurkan undang-undang baru, yang isinya antara lain akan memperpanjang larangan lambang agama, juga kebebasan bagi wanita Muslim yang mengenakan jilbab atau kerudung. Negara bagian juga akan memiliki kekuasaan untuk mengambil langkah di mana otoritas lokal membuat konsesi yang tidak dapat diterima bagi Muslim, katanya, mengutip 'menu religius' di kantin sekolah atau dibuatkan akses terpisah antara murid laki dan murid perempuan di kolam renang.
RUU tersebut juga mengusulkan pembatasan homeschooling untuk menghindari anak-anak 'diindoktrinasi' di sekolah yang diduga menyimpang dari kurikulum nasional.
RUU tersebut diharapkan akan dikirim ke parlemen awal bulan ini.
Pidato Macron tersebut dikecam secara luas oleh Muslim Prancis karena khawatir RUU itu, yang akan diajukan ke parlemen pada bulan Desember, dapat memicu penyalahgunaan hak-hak mereka.
Dalam RUU tesebut juga disebutkan bahwa beberapa organisasi non pemerintah (LSM) atau organisasi yang 'bertindak melawan hukum dan nilai-nilai negara' mungkin akan ditutup atau menghadapi audit keuangan yang ketat.
Ini telah memicu kritik, dengan beberapa perwakilan komunitas Muslim menggambarkan langkah tersebut sebagai Islamofobia dan diskriminatif.
Menyinggung istilah populer baru-baru ini seperti 'Islam Prancis, Islam Eropa, dan Islam Austria', Erdogan mengatakan bahwa istilah tersebut adalah contoh terbaru dari upaya serangan terhadap Islam dan Muslim.
"Ada upaya untuk menciptakan profil warga Muslim agar tidak bersuara, tetap diam terhadap kekejaman, penakut, dan sederhana," ungkap Erdogan.
Prancis memiliki umat Muslim terbesar di Eropa, diperkirakan jumlahnya mencapai 5 juta atau lebih dari populasi total 67 juta jiwa. (*)