GELORA.CO - RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah disahkan menjadi UU Cipta Kerja oleh DPR. Pemerintah mengharapkan, regulasi baru ini bisa mendorong peningkatan investasi yang pada akhirnya bisa membuka lebih banyak lapangan kerja.
Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics (INDEF), Bhima Yudistira, mengatakan UU Cipta Kerja tidak menyelesaikan penyebab utama rendahnya daya saing Indonesia.
"Masalah klasik dan paling utama rendahnya daya saing di Indonesia adalah penegakan hukum. Ini sebenarnya yang jadi penyakit utamanya, investor lebih sensitif pada masalah ini," ujar Bhima dikonfirmasi, Sabtu (10/10/2020).
Sebagaimana pengalaman kegagalan paket kebijakan ekonomi yang dirilis sampai 16 paket di periode pertama rezim Jokowi, dampaknya relatif tak berpengaruh siginifikan dalam peningkatan investasi.
"Karena masalahnya sama di Indonesia, korupsi. Korupsi tinggi karena apa? Karena penegakan hukumnya lemah. Sudah tahu penyakitnya sejak dulu, tapi obatnya salah, dan itu diulang dengan obat yang sama, penyakitnya tidak akan sembuh. Harusnya kalau tujuannya menarik investasi dan membuka lapangan kerja, kuatkan penegakan hukum karena itulah yang paling disorot investor asing. Salah kalau obatnya dengan UU Cipta Kerja," ujar dia.
Diungkapkan Bhima, sebanyak apa pun aturan dan insentif yang diberikan pemerintah, selama penegakan hukum di Indonesia masih lemah, sulit bagi Indonesia menarik banyak investasi asing.
Masalah utama lainnya yang jadi penyebab rendahnya daya saing Indonesia juga diabaikan di UU Cipta Kerja yakni terkait tingginya ongkos logistik dan buruknya konektivitas.
"Dulu ada paket kebijakan ekonomi sampai 16 paket. Niatnya baik, untuk menderegulasi aturan yang tumpang tindih, tapi di lapangan tidak berjalan optimal," ungkap Bhima.
Ia mencontohkan, keberhasilan negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia dalam menarik investasi asing bukan didominasi kesuksesan dalam menangani masalah isu ketenagakerjaan.
Namun pemerintah kedua negara tersebut memiliki komitmen kuat dalam penegakan hukum seperti korupsi dan pungutan-pungutan liar yang merugikan investor. (*)