GELORA.CO - Utang luar negeri (ULN) Indonesia periode Agustus 2020 tercatat mengalami kenaikan. Bank Indonesia (BI) mencatat kenaikan ini terjadi pada ULN pemerintah dan ULN swasta.
Kenaikan ULN ini salah satunya disebabkan oleh penarikan pinjaman untuk penanganan COVID-19. Per akhir Agustus tercatat US$ 413,4 miliar atau setara dengan Rp 6.076,9 triliun (asumsi kurs Rp 14.700).
Dari data Bank Indonesia (BI), utang luar negeri ini terdiri dari ULN sektor publik termasuk pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 203 miliar dan ULN swasta termasuk BUMN sebesar US$ 210,4 miliar.
"Pertumbuhan ULN Indonesia pada Agustus 2020 tercatat 5,75% lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan sebelumnya 4,2%," tulis laporan BI, dikutip Kamis (15/10/2020).
Peningkatan ini disebabkan adanya transaksi penarikan neto ULN baik ULN pemerintah maupun swasta. Selain itu, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga berkontribusi pada peningkatan nilai ULN berdenominasi rupiah.
BI menyebut struktur ULN Indonesia tetap sehat, didukung penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya.
Rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir Agustus 2020 sebesar 38,5%, relatif stabil dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya sebesar 38,2%. Struktur ULN Indonesia tetap didominasi oleh ULN berjangka panjang dengan pangsa 89,0% dari total ULN.
Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, Bank Indonesia dan Pemerintah terus meningkatkan koordinasi dalam memantau perkembangan ULN, didukung dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya.
"Peran ULN juga akan terus dioptimalkan dalam menyokong pembiayaan pembangunan dan mendorong pemulihan ekonomi nasional, dengan meminimalisasi risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas perekonomian," ujarnya.
Staf Khusus (Stafsus) Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Masyita Crystallin mengatakan banyak yang mengkhawatirkan besarnya utang luar negeri Indonesia. Namun begitu, dirinya memastikan kondisi utang pemerintah dikelola dengan sangat hati-hati dan akuntabel.
"Bu Sri Mulyani dikenal prudent dalam menjaga fiskal kita, sehingga resiko yang ada masih manageable dan terjaga. Bahkan, dalam 4 tahun terakhir, kebijakan fiskal kita diarahkan untuk mengurangi angka primary deficit, sudah sangat mendekati angka positif di tahun ini, sebelum pandemi terjadi," kata Masyita dalam keterangan resminya yang dikutip detikcom, Jakarta, Kamis (15/10/2020).
Laporan Bank Dunia itu menyebutkan Indonesia dengan jumlah utang luar negeri sebesar US$ 402,08 miliar atau sekitar Rp 5.940 triliun (kurs Rp 14.775) di tahun tahun 2019. Hal ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-7 setelah China, Brazil, India, Rusia, Meksiko, dan Turki.
Masyita bilang, data ini adalah data ULN total, termasuk swasta. Bukan semuanya utang pemerintah Indonesia. ULN pemerintah hanya 29,8% saja dari keseluruhan utang Indonesia yang tercantum di dalam International Debt Statistics 2021 yang diterbitkan Bank Dunia. Sisanya merupakan utang swasta. Jauh jika dibandingkan dengan rerata negara sesama kategori BBB Fitch, sebesar 51,7%.
"Membandingkan ULN antar negara perlu melihat nilai PDB-nya juga, Ibarat membandingkan nilai KPR, perlu disesuaikan dengan penghasilan. Berbanding dengan pendapatan domestik bruto (PDB) porsi utang Indonesia hanya 35.8% per Oktober 2019. Selain itu, ULN kita juga jangka panjang membuat risiko fiskal kita untuk membayar kewajiban masih manageable," jelas Masyita.
Lebih lanjut Masyita menjelaskan, kebijakan ULN tidak dapat dilihat sebagai sebuah kebijakan yang berdiri sendiri. Negara yang sedang membangun memiliki nilai Investasi yang lebih tinggi dari tingkat saving-nya, atau dikenal sebagai Saving Investment Deficit, dalam hal ini perbedaannya ditutup dengan ULN. Sepanjang return terhadap investasi tersebut lebih tinggi dibandingkan biaya bunga, maka sebuah negara akan mampu membayar kembali.
"Untuk Indonesia sendiri, sebelum pandemi, ULN digunakan untuk membangun proyek-proyek strategis dengan tujuan untuk meningkatkan dan memeratakan pertumbuhan di seluruh pelosok. Kita perlu menutup gap infrastruktur dan mengurangi biaya logistik agar dapat meningkatkan daya saing," katanya.(dtk)